Surgalah Rumahku yang Teduh
Sabtu kemarin adalah hari kematian Namboru saya. Biar saya jelaskan, di dalam adat Batak, Namboru adalah sebutan bagi seluruh saudara perempuan papa. Yang meninggal itu adalah kakaknya papa. Dan sebagai hula-hula, keluarga besar Sihombing turut serta di dalam seluruh prosesi adat kematian yang diadakan. Amangboru [suami namboru] saya sudah meninggal sejak 2005. Ia menjadi janda selama kurang lebih enam tahun sebelum dipanggil Tuhan di usia 62 tahun pada pukul 11.00.
Meninggalnya Namboru Nelly
Saya memperoleh kabar kematian Namboru saya pada pukul 12.45 di hari Sabtu dari mama. Mama dan Papa menyuruh saya untuk pulang, apalagi Bou Nelly [panggilan sederhana Namboru, dan anak pertamanya adalah Kak Nelly] adalah saudara papa yang cukup dekat dengan keluarga kami, khususnya untuk saya dan adik saya. Sewaktu kecil, kami suka mengunjungi rumah bouku ini, hingga menjelang perkuliahan, kami masih sering bertemu.
Perjalanan pulang dari Bandung berlangsung lancar. Saya memperoleh tiket pulang pukul 14.45 dan langsung menuju ke Kelapa Gading melalui jalan Pemuda. Perjalanan belangsung lancar, dan pada pukul 17.45, saya sudah tiba di rumah Bou di Jalan Perdana 1 No. 22A Kayu Tinggi, Cakung. Tiba di sana, sudah banyak keluarga dekat yang berkumpul. Ada bapatua, mamatua, dan namboru, serta ito yang sudah hadir. Saat memasuki rumah, saya hanya mendengar isak tangis dari Bang Edwin dan juga Kak Nelly yang duduk di dekat Bou yang sudah tidak bernyawa lagi. Setelah menyalami Kak Nelly, Kak Inggrid, Bang Edwin, dan Bang Freddy, saya juga duduk di dekat Bou Nelly. Ia terbujur kaku sekarang di atas kasur di tengah-tengah ruangan. Perasaan sedih begitu menyergap ke dalam diri saya ketika sejenak mengingat kembali kenangan-kenangan itu. Saya masih ingat berpura-pura menjadi guru sekolah minggu di saat arisan di rumah bou, masih ingat saat dimandikan mama di kamar mandinya, bahkan bermain bola dengan sepupu saya di jalan di depan rumahnya. Saya juga mengingat jelas kedatangannya saat kami berdua Lepas Sidi pada Juli 2008. Intinya, saya kembali kehilangan sosok wanita yang begitu mengasihi saya dan adik saya.
Bou Nelly sudah mempunyai empat orang cucu. Dua dari Bang Erik dan dua lali dari Kak Nelly. Tinggal Bang Edwin dan Bang Freddy yang belum menikah. Hari Sabtu itu, kami berada di rumah duka hingga pukul 23.00, saat harus mengantarkan suami Kak Nining berkunjung ke rumah Bapatua Lina, ke rumah kami, kemudian harus kembali ke Tebet. Banyak orang yang melawat dan memberikan ucapan turut berbelasungkawa kepada keluarga. Tidak jarang juga, ada tangisan yang terpecah saat melihat Bou yang sudah meninggalkan keluarga besarnya.
Sekarang, saya percaya Bou sudah bahagia. Sungguh bahagia. Ia sudah bertemu dengan Tuhan Yesus di Surga sana. Ia sudah kembali kepada pencipta-Nya setelah berkelana selama 62 tahun di dunia ini. Meninggalkan semua kenangan dan kebaikan yang tidak akan pernah dilupakan, khususnya oleh saya pribadi. Terima Kasih Bou buat semua kebaikan bou.
Surgalah Rumahku yang Teduh
Saya ingin menutup renungan ini dengan sebuah lagu yang kemarin sempat dinyanyikan di tengah-tengah acara di rumah duka, di hari kematian Bou. Sebuah lagu yang akan menentramkan hati kita, judulnya Surgalah Rumahku yang Teduh. Kita beroleh janji bahwa Surga adalah rumah kita yang sebenarnya, di mana tidak ada lagi derita.
Surgo i sambulonta do i,
ndang adong be siaeon disi.
Namamuji tongtong na disi,
pinalua ni Tuhanta i.
Surgo i, surgo i,
ndang adong be siaeon disi.
Surgo i, surgo i, surgo i,
ndang adong be siaeon disi.
(Buku Ende No. 522)
Surgalah rumahku yang teduh,
sirna jugalah deritaku.
Semuanya menyanyi merdu,
yang dibela oleh penebus.
Rumahku yang teduh,
sirna jugalah deritaku.
Rumahku yang teduh, yang teduh,
sirna jugalah deritaku.
Sumber Gambar : BlogSpot