Tergoda oleh Kenyamanan Hidup
Banyak orang yang mungkin setuju bahwa hidup di Australia atau Singapura terlihat begitu nyaman dan menyenangkan. Atau kalau di Indonesia, tinggal di daerah pertanian Bali. Jauh dari hingar-bingar kota, dikelilingi dengan hamparan alam nan cantik. Kita tidak perlu berdesak-desakan dan berjuang menerobos kemacetan setiap hari untuk sekolah atau bekerja. Selain itu, kita juga menginginkan kehidupan yang nyaman, kehidupan dan pekerjaan yang baik, anak-anak yang sehat dan pintar, keluarga yang saling mendukung satu sama lain. Harus diakui, kita sering tergoda oleh kenyamanan hidup, meskipun hal tersebut juga adalah pemberian Tuhan yang patut kita syukuri.
Namun pernahkah kita berpikir, apakah rutinitas, kebiasaan, dan kehidupan kita telah sesuai dengan rencana Tuhan? Apakah Dia tetap berada di posisi terpenting di satu hari yang sibuk, atau di hari libur yang tenang bersama dengan keluarga terkasih?
Berkesempatan berbicara dengan banyak alumni kemarin membuat saya teringat kembali mengenai ketidakpastian dalam hidup. Saat seluruh kehidupan kita menjadi keras dan berat, seperti saat kita kecewa, stress, memiliki masalah, atau dalam kondisi yang sulit, kita akan dengan mudah berpaling dan mengingat Tuhan. Kondisi yang sulit mengingatkan kita betapa lemah dan rapuhnya kehidupan kita, di mana kita sangat membutuhkan tuntunan dari Tuhan. Di dalam masalah, kita berdoa lebih banyak, berserah lebih banyak, dan lebih fokus pada tindakan-tindakan yang kita percaya sebagai “tuntunan Tuhan”, membuat kita menjadi lebih dan lebih dekat kepada Dia.
Namun, saat semua berjalan sesuai dengan rencana dan keinginan kita, kadang kita malah melupakan kedekatan dan ketergantungan kita kepada Tuhan. Kita merasa kuat dan mampu berjuang sendiri dengan kekuatan kita, tokh, kan, selama ini semua bisa berjalan lancar kok! Kita merasa mampu, dan mulai mengurangi ketergantungan kita kepada tuntunan Tuhan. Meskipun tidak sampai meninggalkan Tuhan, namun kehidupan doa dan komunikasi dengan Tuhan perlahan-lahan memudar, dan hanya menjadi rutinitas di sisa-sisa kesibukan kita.
Apakah teman-teman pernah merasakan hal yang sama?
Saat kita hidup dalam kemudahan, kenyamanan, dan kemakmuran (kekayaan dalam segi materi atau uang) kita cenderung lebih mudah untuk melupakan Tuhan. Kita menjadi seperti Bangsa Israel, yang melupakan Tuhan ketika mereka tiba di Tanah Perjanjian. Setelah lebih dari 40 tahun menempuh perjalanan hanya dengan tuntunan Tuhan, melalui berbagai peperangan dan masalah, akhirnya mereka tiba di negeri yang makmur. Penuh susu dan madu, subur, aman dan tenteram, di mana mereka bisa memulai kehidupan baru. Dapatkan kita membayangkan kondisi Bangsa Israel pada masa tersebut dan membandingkannya dengan kehidupan kita sekarang?
Kondisi inilah yang membuat seorang bijaksana berkata, “Jauhkanlah dari padaku kecurangan dan kebohongan. Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku.” (Amsal 30:8-9).
Kita perlu terus waspada untuk tidak mencintai kenyamanan dalam kehidupan ini. Bukan berarti Tuhan tidak menginginkan kita untuk hidup nyaman dan enak, namun, jangan sampai kita tergoda oleh kenyamanan hidup dan melupakan Tuhan.
- Tetap berdoa setiap waktu, di dalam kenyamanan hidup, mari kita tetap berkomitmen untuk mencari Tuhan. Tetap berdoa, mengucap syukur untuk semua pemberian, dan juga terus berdoa untuk rencana Tuhan yang Dia ingin kita lakukan.
- Tetap berkomitmen mencari Tuhan. Saat dalam kesusahan dan tidak ada lagi yang bisa menolong, kita akan mencari Tuhan dalam setiap keputusan. Nah, di saat kita memiliki kenyamanan dan kemudahan, kita cenderung akan mengandalkan kekuatan kita. Ah, selama ini semua berjalan baik kok! Untuk keputusan kali ini, pasti insting saya juga akan tepat! Memiliki kenyamanan dalam hidup membuat kita memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengambil keputusan, “Di mana seharusnya saya tinggal?” “Kemana kami akan liburan?” “Ke mana si abang akan disekolahkan?” Mengambil keputusan tanpa melibatkan Tuhan tentu tidak bijak. Mari kita tetap terus melibatkan Tuhan dalam setiap kondisi hidup kita.
- Tetap berfokus pada tujuan akhir kehidupan kita yakni kekekalan. Kita adalah pendatang di dalam dunia ini. Tujuan akhir kehidupan kita adalah kehidupan kekal bersama dengan Bapa, dan bukan pada kenyamanan yang kita telah miliki di dalam kehidupan kita. Rumah baik, pekerjaan baik, anak-anak dan keluarga yang baik tentu menyenangkan. Namun, ini bukanlah tujuan akhir kita, “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia. (1 Korintus 2:9)
Setelah tulisan ini diterbitkan, Bertha juga menambahkan bahwa ayat dalam Amsal 30:8-9 di atas, dia tulis di buku catatannya pas pertama kali bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kami akhirnya saling mengingatkan untuk tetap hidup sederhana dan mencukupkan diri untuk segala berkat yang Tuhan berikan.