Universitas adalah Tempat untuk Gagal
Masih soal kelulusan dan dunia pendidikan, saya sempat melihat video wisuda abal-abal atau wisuda boong-bongan yang diliput oleh media. Sungguh suatu tamparan keras bagi dunia pendidikan negara yang sudah 70 tahun merdeka. Pendidikan tinggi atau Universitas selayaknya menjadi tumpuan kemajuan teknologi dan pemberdayaan sumber daya manusia diselewengkan fungsinya dan hanya menjadi gedung dengan papan nama kosong. Meskipun jelas ada kecurangan dari pihak yayasan pendidikan yang berjanji memberikan gelar sarjana dengan ketentuan-ketentuan khusus, namun kita tetap tidak habis pikir mengapa masih ada yang percaya dan malah ikut-ikutan.
Kali ini saya tidak mau lebih dalam membahas tentang carut-marutnya persoalan yang membelit dunia pendidikan Indonesia. Tapi ijinkan saya mengupasnya dari sudut pandang dan posisi saya sekarang yang juga adalah mahasiswa.
Universitas adalah Tempat Untuk Gagal
“Universitas adalah tempat untuk gagal,” begitu seru seorang dosen di hari pertama saya masuk universitas. Meskipun saat itu pengetahuan bahasa Jepang saya sangat rendah dan ada beberapa bagian pidato yang saya tidak pahami, saya ingat betul pernyataan dosen yang kelak jadi dosen pembimbing saya di masa tugas akhir. Maksud pernyataannya bukanlah supaya mahasiswa semua gagal dan tidak bisa lulus, namun supaya mahasiswa merasakan kegagalan di saat pendidikan universitas.
Kehidupan universitas memang berat dan kadang membuat takut dan was-was. Mungkin inilah yang membuat banyak orang menjadi fobia dan antipati terhadap universitas. Padahal universitas justru adalah tempat yang paling baik di mana kita diayomi dengan baik. Di dalam universitas, saat masih menjadi mahasiswa, semua kegagalan kita adalah tanggung jawab dosen yang bersangkutan dan pihak universitas. Kita gagal dalam ujian, tidak apa-apa, masih bisa belajar lagi dan ada ujian perbaikan. Gagal dalam praktikum, tidak apa-apa, universitas akan menanggung semua biaya yang keluar atau kerusakan dalam praktikum. Salah dalam menulis laporan atau tugas, tidak apa-apa masih ada dosen yang bersedia membimbing. Semua kegagalan di universitas masih dimaklumi.
Saya tidak bermaksud melupakan pendidikan sebelum universitas. Tentu di setiap jenjang pendidikan dari Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas kita tentu melakukan kesalahan. Dan pihak sekolah mengambil tanggung jawab penuh atas semua yang terjadi di masa-masa kita berseragam sekolah. Namun, universitas adalah tingkat pendidikan terakhir. Tingkat pendidikan terakhir sebelum seseorang masuk ke dunia kerja, di mana seluruh tindakan yang dilakukan adalah tanggung jawab masing-masing pribadi. Di mana kegagalan bisa membawa kerugian atau kehancuran.
Jadi, jika ada kebiasaan atau tabiat buruk yang belum usai diperbaiki saat sekolah dulu, universitas adalah media terakhir menyadari dan memperbaiki tabiat buruk itu. Jika ada pola pikir yang keliru, universitas adalah sarana terakhir mengubah pola pikir. Jika ada ide-ide curang tidak jujur yang masih menempel dalam diri, universitas adalah tempat terakhir untuk menanggalkan seluruh ide curang itu. Universitas menjadi tempat kita gagal, kemudian menyadari seluruh pola pikir, kebiasaan dan tindakan yang salah, namun juga sebagai titik memperbarui diri. Memperbarui diri sebelum masuk ke dunia kerja, arena peperangan yang tidak mengijinkan kegagalan barang secuil pun.
Kesimpulannya, universitas bukanlah “salon” yang bisa mempercantik dan menambah nilai diri, entah dengan gelar atau almamater ternama. Universitas bagi saya adalah “bengkel“, di mana kepribadian jelek kita digerus, keunikan dan intelektualitas diasah, pola pikir ditempa.
Sumber gambar: The Guardian