Tidak banyak orang yang mampu memposisikan diri seperti Jo, begitu panggilan akrab kami berdua kepada Johannes Leonardo Sofresid Sasiang. Jo membuktikan dirinya mampu menjadi sahabat akrab kami berdua. Jadi, kalau ingin tahu perbedaan sifat dan karakter kami, Jo adalah orang ketiga yang tahu persis akan hal itu, setelah Papa dan Mama.
Saya mulai mengenal Jo sejak kelas tiga SMA, saat itu kami berada di dalam satu kelas di INTEN, suatu lembaga persiapan ujian masuk perguruan tinggi. Awalnya, aku hanya sekedar menyapa saja, namun seiring berjalannya waktu, saya semakin akrab dengan Jo. Karena rumah kami yang searah, hamoir setiap kali pulang dari tempat les, kami selalu pulang bareng naik mikrolet. Dan beberapa kali, saya diantar dengan motor yang dia kendarai, khususnya menjelang tes masuk ITB bulan Mei 2010.
Bagi saya, Johannes adalah orang yang tidak sombong, tercermin dari perilaku yang apa adanya dan biasa saja. Johannes juga adalah seorang yang sangat rajin (saya pikir dia pasti lebih rajin daripada saya), terbukti dari setiap tes yang dia jalani, seperti di Universitas Diponegoro, Universitas Gajah Mada, dan Universitas Indonesia, dia selalu diterima pada jurusan Teknik Kimia. Johannes juga yang mengilhami saya untuk mulai teratik pada hal-hal kristiani, seperti membaca buku-buku kristiani, atau menuliskan khotbah dan pengalaman pribadi.
Jo juga terlibat aktif dalam berbagai pelayanan, khususnya di dalam PADAN (Persekutuan Alumni 8) dan juga di Rohkris SMA 8. Di tengah-tengah kesibukannya berkuliah, hampir setiap hari Jumat ia datang ke SMA 8 dan memberikan renungan atau memimpin KTB bagi siswa-siswa di SMA 8.
Inilah cerita “Untukmu Sahabatku” bagian pertama, semuanya saya berikan kepada Johannes, seorang teman yang menginspirasi hidup saya.