Diakah Pasangan Hidupku?-1
Pengantar: Setelah resmi berpacaran dengan Bertha Sianipar (simak kisah awal pertemuan saya dengan Bertha), saya sedikit banyak jadi terbeban untuk berbagi kisah mengenai teman hidup atau pasangan hidup. Buat teman-teman para pembaca setia website ini mungkin bisa merasakan mayoritas kisah yang dituliskan di sini lebih banyak bercerita tentang pengalmaan adik dan saya semasa kecil, sekolah, atau saat berkuliah. Ada juga kisah keluarga besar kami, dan juga ilmu teknik elektro yang memang kami berdua geluti. Namun, masih sangat sedikit kisah-kisah tentang cinta dan kasih, pacaran, dan pergumulan tentang pasangan atau teman hidup. Salah satu yang buku yang cukup berkesan bagi saya adalah buku “Diakah Pasangan Hidupku?” maka ijinkan saya mengutip dan membagikan beberapa hal yang saya bisa pelajari dari buku ini, semoga bisa jadi bahan pemikiran dan dasar pertimbangan teman-teman yang sedang bergumul dalam masalah klasik para remaja dan pemuda kristen: Diakah Pasangan Hidupku?
Semua orang menyadari betapa pentingnya menemukan seorang pendamping atau pasangan hidup yang tepat, dan tentunya yang diperkenankan Tuhan. Tetapi masalah yang sering dihadapi adalah bagaimana kita menemukan pasangan itu. Setiap pemuda-pemudi perlu menyadari hal-hal yang harus mereka perhatikan dalam memilih pasangan hidup.
Definisi pernikahan secara praktis sebenarnya adalah hidup bersama. Karena saling mencintai, kita hidup bersama dan ingin membagi hidup dan sukacita dengan seseorang. Apakah tujuan berpacaran? Berpacaran sendiri adalah proses menjajaki apakah kita dapat hidup bersama atau tidak, itulah inti berpacaran. Jangan sampai saat berpacaran kita kehilangan arah atau tujuan ini. Pacaran bukanlah untuk saling menikmati, pacaran bukanlah untuk menikmati malam yang indah, pacaran bukanlah agar ada orang yang kita kunjungi setiap hari Sabtu atau Minggu malam. Pacaran bukanlah untuk membagi sukacita dengan seseorang, pacaran bukanlah agar kita dicintai orang lain. Tetapi masa pacaran adalah masa kita menjajaki, belajar dan melihat dengan baik apakah kita dapat hidup bersamanya untuk selamanya atau tidak.
Bagaimanakah cara kita mengetahui Diakah Pasangan Hidupku? Beberapa pertanyaan yang patut dijadikan tolok ukur atau pedoman dalam menemukan pasangan hidup.
Baca juga:
Apakah dengan berpacaran membuat kita makin dekat Tuhan?
Apakah kedua-belah pihak saling menolong untuk bertumbuh dan hidup makin dekat Tuhan? Sebab prinsipnya adalah segala hal yang kita lakukan haruslah memuliakan Tuhan. Jika dalam berpacaran justru tidak memuliakan-Nya, terbukti dari makin menjauhnya kita dari Tuhan, dapat dipastikan bahwa hubungan itu tidak diperkenan oleh Tuhan.
Berpacaran, bisa dikatakan memang hanya pertemuan rutin. Seminggu sekali datang ke gereja, pacaran pun seminggu sekali. Rutinitas ini tidak apa-apa, lebih baiknya adalah saling menguatkan, saling mendorong dan saling membangun, sehingga makin hari hubungan ini bertumbuh kepada Tuhan dan makin bergantung kepada-Nya. Contoh: saling menguatkan, saling memberikan teguran rohani, memberi dorongan rohani untuk terus percaya Tuhan, untuk melihat suatu masalah dari sudut Tuhan, untuk melihat apakah hal yang dilakukan itu memuliakan Tuhan atau tidak. Jika semua itu telah ada dalam suatu hubungan berpacaran, tentu akan memperkokoh kerohanian individu tersebut.
Tetapi jika salah satunya bukan anak Tuhan, dapat dipastikan hubungan itu tidak akan memuliakan Tuhan dan mereka tidak akan bertemu dalam Tuhan. Sebab yang satu secara otomatis tidak akan bisa memberikan dorongan rohani kepada pasangannya. Misalkan, jika pada hari Minggu orang yang percaya seharusnya ke gereja, namun pacarnya yang tidak percaya mengajaknya jalan-jalan, rekreasi, dan lain sebagainya. Hal-hal seperti itu dapat menjauhkan orang percaya itu dari Tuhan. Apalagi dalam pembicaraan mereka berdua, otomatis hal-hal yang bersifat rohani tidak bisa lagi mereka bahas.
Biasanya kalau pada masa pacaran, yang satu menuruti saja kemauan pasangannya, setelah menikah keadaan akan jauh berbeda. James Thompson, seorang psikolog dari AS pernah mengatakan, “sebaiknya hubungan pacaran itu dilandasi oleh dua cinta yang sama, jangan sampai yang satu sangat mencintai dan sangat bergantung pada pasangannya dibanding yang satunya.” Dengan kata lain, pasangan seperti itu ialah pasangan yang tidak seimbang. Sebab kalau yang satu mencintai pasangannya secara berlebihan maka secara otomatis terjadi kebergantungan yang sangat kuat dari salah satu pihak. Sehingga yang satu cenderung mengikuti kehendak pasangannya guna menyelamatkan hubungan mereka. Ia berusaha agar tidak kehilangan pacarnya. Kondisi hubungan seperti ini tidak sehat dan sangat berbahaya, sebab suatu hubungan nikah haruslah didasari oleh kesetaraan. Di mana jika keduanya ditanya hal yang sama, mereka harus berani mengemukakan pendapat.
Perbedaan-perbedaan apa yang mempersulit komunikasi?
Komunikasi adalah aspek yang sangat penting, karena saling berbicara akan menunjukkan banyak hal. Semisal: Kesamaan minat, kalau keduanya tidak memiliki ini maka akan kesulitan berbicara panjang lebar. Kesamaan berpikir, pola pikir yang sama juga memberikan kecenderungan bagi pasangan untuk dapat berbicara panjang lebar. Berikutnya ialah kemampuan memahami apa yang dibicarakan oleh pasangannya. Hal ini juga ditunjukkan dari seberapa mampu mereka berbicara., membahas suatu masalah atau topik, dan makin akrab. Kenyataannya, ada pasangan yang sangat sulit berbicara dan jika ditanya kenapa, alasannya karena tidak ada yang perlu dibicarakan. Walaupun terkesan membeda-bedakan, namun kesenjangan pendidikan yang terlalu jauh juga akan berpengaruh pada pola pembicaraan pasangan. Faktor pendidikan dan faktor IQ jangan berbeda terlalu jauh, karena jika demikian, di antara mereka tidak ada kesamaan dan sulit menemukan titik temu. Semakin banyak perbedaan, semakin sulit mencapai titik temu berkomunikasi.
Seberapa mampukah untuk bekerjasama?
Salah satu wujud kerjasama dapat terlihat dari kemampuan pasangan mengambil keputusan bersama ketika menghadapi masalah. Jika ada perbedaan pendapat, itu berarti mereka harus mampu mengambil keputusan bersama. Dengan demikian mereka “lulus” dalam faktor kebersamaan, karena masalah itu mengundang atau bahkan mengharuskan kita untuk mengambil keputusan. Ketika masalah timbul, keputusan apa pun yang diambil, harus diputuskan berdua.
Banyak orang dapat mengambil keputusan sendiri tetapi sulit untuk mengambil keputusan berdua, itu hal yang sangat sulit. Jangan heran, akhirnya banyak pasangan yang tidak melalui tahapan sehat ini. Mereka mengambil jalan pintas yaitu: yang satu memaksakan kehendaknya dan yang satu hanya menerima kehendak saja. Seolah-olah dari luar tampak baik-baik, tenteram, dan harmonis namun sebetulnya ada unsur keterpaksaan. Meskipun banyak masalah tapi tidak ribut dan memang hanya dapat menyelesaikan sedikit dari permasalahan itu, tetapi dalam keadaan itu ada pihak yang menderita dan tertekan (biasanya pihak wanita yang punya cenderungan menurut).
Idealnya, baik pria dan wanita saling mau belajar dan menyelaraskan diri agar dapat bekerja sama. Tetapi hal ini sulit dilakukan, jauh lebih mudah yang satu memaksakan dan yang satu hanya menurut. Pasangan tidak seiman pasti akan berdampak dalam kerja sama mereka. Dalam memutuskan suatu masalah diperlukan kesamaan nilai-nilai hidup, jika nilai hidupnya berbeda maka hal ini akan mengganggu. Misalnya dalam persepuluhan, yang satu rela memberikan persepuluhan kepada Tuhan, yang satu lagi sangat mungkin keberatan. Yang satu ingin melayani Tuhan lebih aktif, yang satu enggan melepas pasangannya ke gereja. Yang satu mungkin menghalalkan segala cara, yang satunya takut akan Tuhan.
Apakah kita bersedia berekresi atau menikmati waktu luang bersama?
Jangan sampai kita dan pasangan menjadi sangat berbeda, sehingga benar-benar tidak ada titik temu untuk menikmati hidup bersama. Semisal pria senang nonton bola, pihak yang lain suka jalan-jalan; pihak yang satu senang keramaian dan kumpul-kumpul, pihak yang lain lebih suka berdiam di rumah. Akhirnya, yang terjadi adalah tidak pernah menikmati hidup bersama. Yang penting adalah bukan memulai kesamaan, tetapi bagaimana mencocokkan diri dalam perbedaan itu dan saling menghargai perbedaan yang ada.
Ketika baru menikah, kami mempunyai perbedaan yang cukup besar dalam hal menikmati waktu luang atau rekreasi. Istri saya sangat senang dengan pantai dan laut, saya lebih suka ke gunung. Sangat berbeda, sebab tidak banyak tempat yang sekaligus ada keduanya. Tetapi setelah menikah belasan tahun, sekarang saya dapat menikmati pantai, saya tahu dia suka ke pantai sehingga juga meluangkan waktu untuk pergi ke pantai. Karena usaha ini memberikan saya kesempatan untuk sering ke pantai, lama-kelamaan saya sangat menikmati pantai dan dia pun akhirnya sangat menikmati pegunungan. Jadi, sekali lagi intinya adalah bukan mencari seseorang yang persis dengan hobi, karakter, atau kesukaan kita, tapi mencari seseorang yang dapat memahami dan menyesuaikan hidupnya dengan kita.
Baca juga:
Tulisan ini dikutip dari literatur SAAT, Malang oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi, Ph.D, dengan beberapa penyesuaian.