Diakah Pasangan Hidupku?-2
Pengantar: Setelah resmi berpacaran dengan Bertha Sianipar (simak kisah awal pertemuan saya dengan Bertha), saya sedikit banyak jadi terbeban untuk berbagi kisah mengenai teman hidup atau pasangan hidup. Salah satu yang buku yang cukup berkesan bagi saya adalah buku “Diakah Pasangan Hidupku?” maka ijinkan saya mengutip dan membagikan beberapa hal yang saya bisa pelajari dari buku ini, semoga bisa jadi bahan pemikiran dan dasar pertimbangan teman-teman yang sedang bergumul dalam masalah klasik para remaja dan pemuda kristen: Diakah Pasangan Hidupku?
Baca juga:
Apakah teman-teman kita bisa diterima oleh pasangan kita, begitu juga sebaliknya?
Salah seorang dari pasangan pada suatu saat harus mengajak calonnya untuk diperkenalkan kepada teman-temannya. Masing-masing harus melihat dengan jelas siapakah teman-temannya, karena secara tidak langsung mencerminkan siapa dia sebenarnya. Mereka yang telah menikah menyadari bahwa kita hidup di tengah masyarakat dan tidak lepas dari orang lain, yaitu teman-teman kita sendiri. Oleh karena itu, adalah penting bertanya, dapatkah pasangan saya masuk ke dalam lingkungan teman-teman saya dan diterima, begitu juga sebaliknya.
Sudah pasti keduanya memiliki latar belakang yang berbeda, dan teman-temannya pun tentu berbeda. Hal yang penting bukan lagi kesamaan teman, tapi dapatkah menerima dan menyesuaikan dengannya atau tidak? Sebab masing-masing pasti akan bertemu dengan sekelompok teman baru. Semisal ada perbedaan iman, yang satu biasa bermain dan bergaul dengan teman-teman di gereja dan yang satu mungkin tidak merasa cocok dengan teman gerejanya. Karena perbincangan mereka berbeda, maka tidak akan ada titik temu dan bagi yang satu akan merasa seperti di tengah-tengah orang asing. Sebaliknya, orang yang percaya juga mungkin merasa tidak nyaman kalau teman-teman pasangannya mengajaknya ke diskotik atau “night club”, sebab bukanlah jiwanya.
Menurut saya, teman sesungguhnya mencerminkan siapa kita, siapa yang kita pilih menjadi sahabat sedikit banyak mencerminkan siapa diri kita. Pasangannya harus melihat dan berpikir, apakah dia akan merasa cocok jika teman-temannya adalah orang yang suka ke “night club” atau karaoke setelah pulang kerja dan sebagainya? Atau dalam hal pelayanan, apakah cocok dengan teman-teman pasangannya yang punya kerinduan untuk melayani di gereja atau aktif dalam persekutuan pemuda. Harus mempertimbangkan apakah dia mau hidup dalam lingkungan seperti itu, karena pada akhirnya dia tidak bisa memisahkan pasangannya dari lingkup teman-temannya. Kalau keadaan seperti itu sampai mempengaruhi mereka dan keduanya benar-benar tidak bisa masuk ke dalam lingkup sosial masing-masing, maka salah satu harus berani memutuskan hubungan.
Saya mengenal seseorang yang kuat dalam Tuhan tapi akhirnya menyukai seorang teman pria yang bukan dalam Tuhan. Akhirnya dia bersedia menguji apakah dia cocok dengan pasangannya ini. Sebenarnya saya kurang setuju dengan langkah yang diambilnya, namun dia melakukan hal yang bijaksana. Kebetulan pasangannya yang tidak seiman itu tinggal di kota lain, lalu dia memutuskan pergi ke kota itu. Ia mengunjungi pria itu selama seminggu. Di situ baru dia melihat gaya hidup pacarnya itu, yaitu pulang kerja tidak langsung ke rumah tapi mampir dulu ke “night club” sampai jam 11 atau 12 malam baru pulang. Melihat gaya hidup pacarnya seperti itu, dia balik lagi ke kota asalnya dengan suatu keputusan yang sangat jelas, dia harus putus hubungan dengan pacarnya.
Contoh lainnya: Ada seorang pemuda yang juga mengalami masalah seperti itu, sebetulnya sadar bahwa dia tidak cocok dengan kekasihnya, dia malu untuk memperkenalkannya, karena merasa tidak diterima oleh teman-teman dan keluarganya. Tapi karena cintanya terlalu kuat maka sulit untuk memutuskan hubungan. Ini adalah hubungan yang tidak sehat, tapi sangat sulit untuk bisa lepas satu sama lain. Penyebabnya adalah karena pemuda itu tidak bisa mempresentasikan pasangannya di hadapan orang-orang. Mereka menjadi sangat saling bergantung satu sama lain, seolah-olah kebutuhan mereka tidak bisa dipenuhi oleh orang lain. Hanya pasangannya yang bisa memenuhi kebutuhan itu, sehingga mereka benar-benar bersandar penuh kepada pasangan dan tidak dapat membuka diri terhadap masukan orang lain. Hal ini amat berbahaya, karena mereka menjadi sangat eksklusif, tidak realistis, sangat membebankan dan tidak memberikan ruang gerak bagi pasangannya. Setelah menikah baru menyadari bahwa pasangan kita tidak bisa memenuhi setiap kebutuhan kita.
Prinsipnya adalah berpasangan dengan orang yang bisa kita presentasikan ke hadapan orang lain. Kita tidak bisa berpasangan dengan seseorang yang ingin kita sembunyikan dari khalayak ramai karena merasa malu. Kita harus memiliki kebanggaan ketika bersanding dengannya, berjalan dengannya, dan mempresentasikan dia di lingkungan kita, entah di tengah-tengah teman atau keluarga kita. Jika belum menikah saja sudah merasa malu berjalan dengan dia dan menyembunyikan dia, ini adalah bukti hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang. Kalau kita hanya berani berduaan di luar khalayak ramai, hubungan ini akan menjadi terlalu eksklusif. Yang lebih serius lagi adalah tidak berani mempresentasikan dirinya, karena sebetulnya menyadari banyak hal dalam dirinya yang tidak dapat diterima orang lain dan sebenarnya kita pun tidak bisa menerimanya.
Pilihlah orang yang bisa kita terima dan tidak malu untuk menerimanya. Temukanlah sesuatu yang dapat membuat kita merasa bangga terhadapnya, misalnya: kualitas hidupnya, status sosialnya, atau keterampilannya. Tidak harus orang yang paling tampan atau paling cantik, tapi yang penting adalah tidak malu berjalan dengannya. Bertanyalah pada diri sendiri, “Suatu hari kelak apakah saya akan bangga dikenal sebagai suami atau istrinya?”
Apakah memiliki nilai moral yang sama?
Nilai moral sesungguhnya adalah poros sedangkan keputusan hidup kita adalah jari-jarinya, sehingga kalau poros itu tidak ada atau tidak lagi berimbang, sudah tentu jari-jarinya akan berputar tidak beraturan atau kacau. Seperti poros, nilai moral sangatlah penting sebab akan menentukan, termasuk soal uang, memberikan waktu dan perhatian kepada keluarga dan orang lain, serta pelayanan dalam gereja atau komunitas kristen.
Moral juga erat kaitannya dengan menjaga kesucian. Hubungan yang baik adalah saat pria dan wanita dapat bekerja sama, saling mendukung untuk menjaga kesucian.
Dapatkah menerima dan menghargai keluarga masing-masing?
Ini adalah salah satu pertanyaan yang sangat penting, apalagi dalam konteks ketimuran kita. Mereka yang menikah tidak bisa berkata, “Saya hanya menikahimu dan tidak peduli dengan keluargamu”. Berdasarkan pengalaman, sekali lagi, hal ini seringkali menjadi duri dalam hubungan nikah mereka. Berkali-kali saya menyaksikan ini dalam praktik, yaitu akhirnya hubungan suami-istri sangat terganggu masalah keluarga masing-masing. Biasanya yang terjadi adalah salah satu pihak tidak menghargai keluarga pasangannya. Bukan berarti harus dengan buta menghargai keluarga pasangan kita karena mungkin ada anggota keluarga yang bermasalah. Misalnya, bapak atau ibu mertua yang bermasalah, tapi kita juga harus menyadari bahwa seberapa pun mereka bermasalah, tetap saja mereka adalah bagian kehidupan pasangan kita dan ia sedikit banyak pasti berharap agar kita mau menghargai mereka. Sebab penghinaan terhadap keluarganya juga berarti penghinaan terhadap dirinya. Sebaiknyalah menikah dengan seseorang yang keluarganya dapat kita hargai.
Seringkali yang terjadi dalam masa pacaran adalah telanjur saling senang tapi kemudian salah satu dari orang tua entah dari pihak pria atau wanita tidak menyetujui atau tidak merestui. Sebagai orang Kristen yang beriman kepada Tuhan, bagaimana seharusnya mereka menyikapi hal ini?
Hal ini sering dipertanyakan, namun selalu ada pertanyaan, apakah orang tuamu jelas melihat pasanganmu? Sebab ada kalanya orang tua mempunyai frase posisi atau anggapan yang kurang jelas sehingga harus mengetahui terlebih dulu apakah orang tua telah jelas melihat pasangan kita. Pertama, kitalah yang bertugas memberikan penjelasan selengkapnya dan seobjektif mungkin. Kedua, harus selalu menghargai masukan orang tua sebab kita harus selalu kembali pada fakta motivasi. Jadi, kalau sampai orang tua menentang, biasanya karena mereka prihatin bahwa orang itu sesungguhnya tidak cocok dengan anaknya. Mungkin ini yang tidak terlihat oleh si anak. Maka, anak perlu menghargai masukan orang tua sebab umumnya orang tua tidak beniat jahat, justru melakukan itu untuk kebaikan si anak. Inilah yang perlu dipelajari oleh si anak, kenapa orang tuanya menentang, dia harus melihat hal-hal itu dengan objektif.
Misalnya yang kerap terjadi adalah orang tua melarang anaknya menikah karena alasan perbedaan etnis. Ada sebagian anak yang tetap ngotot dan tidak menghormati petunjuk atau permintaan orang tuanya. Sebagai akibat pergaulan yang sangat terbuka, mereka melihat banyak pasangan yang berbeda etnis dan di mata mereka pasangan itu toh tetap berbahagia. Di Indonesia kita jua kerap menemukan hal seperti ini, pria dari suku ini hendaknya meminang wanita dari suku yang sama dan sebaliknya. Lantas apa yang dikatakan Alkitab?
Secara Alkitabiah, seorang Kristen tidak boleh melarang anaknya menikah dengan orang yang berlainan etnis. Karena memang Tuhan tidak menghendaki hal itu, Tuhan melihat semua orang sama. Tuhan hanya membedakan seiman atau tidak, Tuhan memintanya dengan jelas. Tuhan tidak mempersoalkan masalah etnis yang berbeda karena semuanya adalah ciptaan Tuhan. Namun, selain itu kita harus menyadari bahwa setiap golongan masyarakat mempunyai pola dan kebiasaan hidup yang unik untuk setiap kelompok. Bahkan meskipun mereka satu etnis, antara orang yang berstatus ekonomi tinggi dengan yang berstatus eknnomi rendah akan memiliki gaya hidup yang berbeda. Sebelum menikah, pertimbangkanlah masak-masak resiko dan konsekuensinya. Bagi pasangan yang berbeda etnis, bukan masalah etnisnya tapi mereka harus menyadari perbedaan-perbedaan gaya hidup. Dan kalaupun dapat dan siap untuk menyesuaikan diri, teruslah doakan.
Baca juga:
Tulisan ini dikutip dari literatur SAAT, Malang oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi, Ph.D, dengan beberapa penyesuaian.