Dikasihi Untuk Mengasihi
Dietrich Bonhoeffer adalah seorang pendeta Lutheran Jerman, teolog, aktivis anti-Nazi, dan anggota pendiri Confessing Church. Terlahir di dalam keluarga dengan delapan orang anak, ia dibesarkan dalam lingkungan liberal dan didorong untuk mendalami ilmu pengetahuan dan seni rupa. Keterampilan Bonhoeffer dalam memainkan piano, pada kenyataannya, membuat sebagian besar keluarganya yakin bahwa ia akan berkarir di bidang musik. Namun di usia 14 tahun, Dietrich mengumumkan keinginannya untuk menjadi seorang teolog yang membuat keluarga tidak senang.
Bonhoeffer lulus dari Universitas Berlin pada tahun 1927, pada usia 21, dan kemudian menghabiskan beberapa bulan di Spanyol sebagai seorang asisten pendeta jemaat di Jerman. Kemudian dia pergi ke Amerika, dan menghabiskan setahun untuk belajar di New York Union Theological Seminary, sebelum akhirnya kembali menjadi dosen di Universitas Berlin.
Adolf Hitler naik berkuasa dan kemudian menjadi kanselir Jerman pada bulan Januari 1933 kemudian menjadi pemimpin. Banyak orang yang menyuarakan anti kepemimpinan terhadap Hitler, salah satunya Bonhoeffer muda. Sekalipun terus berada dalam bahaya dan acaman akan keselamatan nyawanya, Dietrich Bonhoeffer memilih untuk tetap tinggal di Jerman yang saat itu dipimpin oleh Hitler. Dia tetap tinggal dan terus menjadi pendeta dan mengadakan ibadah. Pemerintah telah melarang dia memimpin seminari, sehingga ia harus melakukannya secara diam-diam. Akhirnya, seminari itu ditemukan dan ditutup, dan di tahun-tahun selanjutnya, semakin sedikit yang menyuarakan anti-kepemimpinan terhadap Hitler. Bonhoeffer mulai mengubah strateginya. Ia mencoba untuk menentang Nazi melalui aksi agama dan persuasi moral.
Dikasihi Untuk Mengasihi
Meskipun harus menghadapi bahaya setiap hari, Bonhoeffer mampu menulis buku Life Together, sebuah buku tentang pelayanan keramahtamahan. Ia membuktikan sendiri prinsip ini ketika ia hidup dan bekerja di tengah suatu komunitas biara dan ketika ia harus dipenjara. Ia mengajarkan bahwa setiap waktu makan, setiap tugas, dan setiap perbincangan adalah suatu kesempatan untuk menunjukkan Kristus kepada orang lain, bahkan pada saat kita berada di bawah tekanan amat besar untuk terus melakukannya. Ia mengajarkan bahwa mengasihi sesama adalah wujud dari kasih dan iman kita kepada Tuhan. Seharusnya tidak ada sekat pembatas untuk kita dapat menyatakan kasih kepada sesama: bukan suku atau ras, bukan agama, bukan pula kepercayaan dan ideologi. Kita semua adalah satu saudara di dalam Tuhan.
Sebab TUHAN, Allahmu Allah segala Allah dan Tuhan segala tuhan, Allah yang besar, kuat dan dahsyat, yang tidak memandang bulu ataupun menerima suap; yang membela hal anak yatim dan janda untuk menunjukkan kasih-Nya kepada orang asing dengan memberikan kepadanya makanan dan pakaian. Sebab itu haruslah kamu menujukkan kasihmu kepada orang asing, sebab kamu pun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir. (Ulangan 10:17-19)
Kita tahu persis bagaimana Allah terus memelihara Bangsa Israel dari perbudakan Mesir hingga ke tempat yang Ia janjikan. Dia kemudian memerintahkan mereka untuk meneladani kasih-Nya dengan cara mengasihi dan melayani orang asing serta para janda. Hari ini kita pun yang telah dikasihi Allah juga dimampukan untuk melayani Dia dengan melayani sesama dalam berbagai cara setiap hari, baik melalui perkataan dan tindakan yang baik.
Tuhan akan senang ketika melihat kita mampu meneladani-Nya mengasihi sesama. Hidup akan semakin berarti ketika kita mampu melakukan sesuatu yang berharga bagi orang lain. Kita terlebih dahulu dikasihi dan kasih itu hendaknya dapat kita bagikan kepada orang-orang lain.
Semakin kita memahami dan merasakan kasih Allah kepada kita, semakin besar pula kasih kita kepada sesama. Dikasihi untuk mengasihi.
Sumber Gambar : www.acton.org, blogspot.com