Renungan di Hari Jadian
Renungan di Hari Jadian – Setelah merayakan Natal dan Tahun Baru bersama di rumah setelah tujuh tahun berlalu, Bertha dan adik-adiknya kembali lagi ke rutinitas kerja dan kuliah di Jakarta. Kami bertemu tanggal 2 Januari sepulang kerja. Kami makan bersama di Atrium sambil menikmati kembang loyang yang dibuat Bertha di rumahnya, lengkap dengan durian lezat dari Paritohan yang dibeli papanya. Wah, enaknya! Makasih sayang buat kembang loyang dan duriannya!
Eh, tapi, tulisan ini bukan bercerita soal liburan Natal dan Tahun Baru loh, yang nanti memang akan saya buat dalam tulisan terpisah. Baca juga: Bersyukur untuk Setiap Kebaikan Tuhan di Tahun Lalu Tulisan ini adalah renungan di hari jadian kami yang ke empat. Lebih tepatnya pada tanggal 13 Januari kemarin–4 bulan semenjak kami resmi berpacaran tanggal 13 September 2016. Kalau pacaran di masa SD dulu, kami sudah memperoleh raport caturwulan, hehe!
Di masa empat bulan ini, akhirnya kami mengalami juga marahan! Haha, kok malah seneng sih kelihatannya? Bukan seneng karena bisa ribut dan marahan, namun senengnya karena kami bisa menyelesaikan permasalahan yang datang. Meskipun Bertha sempet melancarkan “perang dingin” alias diem-dieman selama hampir 1 hari, tapi Puji Tuhan semuanya bisa saling mengerti dan memaafkan. Banyak pelajaran yang bisa diambil, untuk belajar mendengarkan dan memberikan kesempatan kepada yang lain menjelaskan, lebih sabar, dan tetap mengandalkan Tuhan. Hubungan kami tetap berlanjut, setidaknya naik ke tahap yang lebih dekat dan lebih serius daripada sebelumnya.
Setelah bersama-sama mengikuti acara alumni kemarin, kami pergi bersama untuk makan di Grand Indonesia. Di Ikuddo Ramen, tempat incaran Bertha yang sebenarnya minggu lalu sudah makan di sini. Haha, ada ramen babi dengan kuah yang super enak! Dulu, pas PDKT, kami juga sempat pergi ke sini, pertemuan kedua atau ketika kalau tidak salah, sebelum tempat ini kemudian di renovasi dan baru dibuka kembali beberapa saat yang lalu.
Tidak terasa waktu beranjak hampir satu bulan setelah kami merayakan hari ulang tahun Bertha pada tanggal 18 Desember kemarin. Saya masih mengingat sebuah renungan kecil yang saya tuliskan di akhir cerita yang saya bagikan, yakni mengenai cinta dan komitmen mencintai.
Cinta gombal itu gampang. Mengapa gampang? Karena kita anggap cinta itu cuma perasaan saja. Kita cinta kepada dia karena dia berbuat baik dan menarik hati kita. Padahal cinta adalah perbuatan berkomitmen. Komitmen maksudnya, segala sesuatunya tidak wajib, namun kita mau mengikatkan diri pada seseorang atau sesuatu. Makna kata “komitmen” sama persis dengan saat kita berbicara berkomitmen untuk mengenal Tuhan melalui belajar Firman-Nya, atau berkomitmen untuk datang tepat waktu saat bekerja atau berkuliah. Komitmen adalah prasyarat kesinambungan sebuah ikatan, misal, ikatan pacaran, ikatan keluarga, atau ikatan pekerjaan. Karena komitmen dipegang teguh oleh kedua belah pihak, maka perasaaan insecure (tidak aman, khawatir, atau takut ditinggalkan) akan lenyap dan digantikan oleh rasa aman, sukacita, dan damai sejahtera.
Saat makan bersama, saya juga membagikan sebuah screenshot status dari Chris Perry yang saya dapatkan dari seorang teman di laman Facebook. “Every relationship will get ‘boring’ after you’ve been together for year. Love isn’t a feeling it’s a commitment to love every day, physically and emotionally. It’s difficult, it’s not always laughs, smiles, and fun. People tend to quit when it stops being fun, and they go look for someone else, because ‘the spark is gone’. No, that’s not how it works. You want somebody to never give up on you, and love you unconditionally then do the same. Be the change. This isn’t Hollywood, this isn’t movies. Love someone when you don’t want to, when they aren’t the easiest to deal with. When they’re hard to love.”
Saya baru menyadari, bahwa renungan yang saya tulis bulan lalu dan status yang saya kasih tunjuk kepada Bertha kemarin ternyata berkaitan. Setiap hubungan (pacaran) akan membosankan ketika kalian telah bersama bertahun-tahun. Cinta bukanlah sebuah perasaan, dia (cinta) adalah sebuah komitmen untuk mencintai setiap hari, secara fisik maupun emosi. Itu sulit. Itu tidak selalu dipenuhi dengan tawa, senyuman, dan menyenangkan. Orang-orang cenderung untuk mengakhirinya ketika hubungan sudah tidak menyenangkan lagi. Mereka mencari orang lain sebagai pengganti karena “percikan cinta” itu sudah tidak ada lagi. Tidak, itu bukanlah cara kerja hubungan. Kamu menginginkan seseorang yang tidak akan pernah menyerah kepadamu, dan yang mencintaimu tanpa kecuali, dan kemudian kamu pun melakukan hal yang sama. Jadi perubahan! Hubungan bukanlah film Hollywood. Tetap cintai seseorang meskipun itu rasanya mustahil, bahkan ketika mereka tidak pantas untuk dicintai.
Perjalanan masih panjang, meskipun arahnya sudah semakin jelas. Sebuah hadiah unik yang saya berikan juga sebagai hadiah baginya di momen 4-monthversary ini. Sebuah aksesoris pembatas buku berupa dua orang pasangan Jepang serta sebuah surat ajakan untuk menuliskan masa depan bersama-sama. Semoga berkesan ya sayang, mari menulis masa depan bersama. Mari bertumbuh bersama dan makin dekat dengan Tuhan, “Tetap mencintai sesorang meskipun rasanya mustahil, bahkan ketika mereka tidak pantas untuk dicintai.” hanya akan bisa kita lakukan bersama dengan Tuhan, Sang Pencipta cinta itu.
Tulisan dalam tema yang sama:
- Pertemuan yang Tak Terduga
- Tuhan yang Menulis Cerita Cinta
- Bekerja untuk Bisa Memberi
- Komitmen dalam Pacaran
- Mengucap Syukur Setiap Hari
- Hadiah Ulang Tahun Terindah
- Selamat ulang Tahun Pacar Tersayang
- Renungan di Hari Jadian
- Bersyukur untuk Setiap Kebaikan Tuhan di Tahun Lalu