Tuhan yang Menulis Cerita Cinta
Tuhan yang Menulis Cerita Cinta. Wah akhirnya punya kesempatan juga buat melanjutkan kisah pendekatan (PDKT) saya dengan cewek yang sekarang dah resmi jadi pacar saya. Kalau di kisah sebelumnya saya bercerita awal perkenalan dan pertemuan kami (Baca di Pertemuan yang Tak Terduga), di tulisan ini saya langsung sedikit fast-forward selama 3 bulan PDKT kami. Kenapa? Ya karena agak sulit mencacah waktunya aja sih. Tapi beberapa momen yang berkesan nanti bakal ditulis dalam tulisan terpisah juga, kok. Banyak teman dan adik kelas yang bertanya, kapan sih jadiannya bang? Jadiannya tuh tanggal 13 September 2017. Walaupun dipikir-pikir tanggalnya kok gak tanggal cantik aja yaa…tapi gak masalah kok. Seperti yang dulu saya suka katakan kepada teman dan adik kelas di kampus, yang penting tuh bukan start-nya, tapi finish-nya. Semoga hubungan saya dengan Bertha bisa berakhir bahagia.
Jadi semenjak tulisan saya mengenai “Pertemuan yang tak terduga” diterbitkan, ada cukup banyak orang yang penasaran dengan kisah saya selanjutnya. Termasuk Bertha sih haha. Oiya, gak tahu kebetulan atau gak, semenjak tulisan itu di post, jumlah kunjungan ke website meningkat drastis juga. Dari yang biasanya 2.000-2.200 pageviews sehari, sekarang jadi hampir 2.800-3.000 pageviews.
Setelah pertemuan pertama itu, komunikasi kami berjalan intens. Gak tahu sih siapa yang memulai, tapi saya ingat dia hampir selalu yang menyapa saya duluan pagi hari. Seperti Sabtu pagi itu setelah kami pertama kali bertemu, dia menyapa dan bercerita bahwa hari itu dia akan mengurus tiket kepulangannya esok hari dahulu. Oiya, Bertha tuh tinggalnya di Porsea. Buat teman-teman yang gak tahu, Porsea itu ada di sisi timur Danau Toba Sumatera Utara. Kalau dari tempat asalnya, teman-teman pasti sudah tahu, dia itu cewek batak. Tulen. Bapaknya marga Sianipar, lalu mamanya (maminya–sering dia sebut, Tampubolon). Letaknya ada di antara Prapat dan Balige, dua kota yang jauh lebih terkenal daripada Porsea. Saat pulang kampung tahun 2013 dan paskah 2017 kemarin, saya juga melewati Pasar (onan) Porsea. Bicara soal Porsea, makanan khasnya yang terkenal itu tipa-tipa (bakal beras yang ditumbuk) dan dia ada jembatan sungai Asahan yang terkenal.
Setelah sedikit perjuangan dan menunggu, akhirnya dia bisa mendapat kepastian jam kepulangannya. Naik garuda sih biasa, cuma pas dia mengirimkan foto boarding passnya: Gold-Elite haha. Gelar prestisius ini dia peroleh soalnya tahun lalu dia pergi ke banyak sekali tempat di Indonesia. Mulai dari Aceh, Medan, Yogya, Dieng, Palu, Sumba, hingga Ternate. Ngapain? Liburan? Haha, bukan, tapi sebagai Analis Kebijakan di unit Asisten Deputi Analisis Data Pasar Pariwisata Nusantara. Panjang juga ya kerjaannya, tapi intinya, dia sering jadi wakil Kementrian Pariwisata (Kemenpar) di event-event tertentu. Gak heran deh dia bisa keliling Indonesia. Kamu bisa cek langsung keseruan kunjungan dia ke wilayah-wilayah di Indonesia di Instagramnya @berthadian, lengkap dengan caption-nya yang lumayan keren.
Saya masih ingat dia bercerita, papa mamanya, adiknya, sama namboru (saudara perempuan ayah) dan mamatua datang menjemput ke Silangit. Wah, boru panggoaran terkasih pulang nih, candaku. Selama di rumah, dia banyak bercerita tentang keluarganya, keluarga besarnya (benar-benar besar karena ada 6 orang anak), aktivitasnya menemani adiknya belajar dan nonton film, termasuk juga kunjungan terakhir ke tempat Opung Borunya (Nenek, dalam bahasa Batak) di Siantar. Kenapa terakhir? Iya, karena tanggal 20 Agustus kemarin Opungnya ini meninggal. Waktu itu pas banget saat Bertha sedang ada courses di negeri China. Bertha sayang banget sama opungnya karena dulu pas kecil sempat dirawat dan dianterin sekolah (walaupun sekolahnya cuma di seberang rumah, haha, kebayang gak?). Satu lagi, dia suka males gitu karena kalau di rumah opungnya harus kerja dan melakukan aktivitas. Kalau bersih-bersih rumah sih oke, tapi sampai metik kelapa. Wah, harus hati-hati dan butuh teknik tertentu yang rasanya agak sulit terbayang dilakukan oleh seorang gadis. Tapi yang paling berkesan itu, saat dia bilang Opungnya ini dekat banget sama Tuhan, dan gak mau ngerepotin orang lain sama sekali. Dan, aku melihat itu juga jadi prinsip hidup dia, karakter yang agak sedikit langka untuk ditemukan apalagi di jaman globalisasi dan generasi millenial kini.
Waktu seminggu berlalu, akhirnya kami janjian ketemu lagi hari selasa setelah dia kembali bekerja. Kami betemu di Restoran Dua Nyonya di Cikini. Pertemuan kedua ini biasa saja sih, cuma dia bercerita kembali aja kegiatan selama di kampung (rumah) begitu juga dengan saya. Walaupun tidak spesial, namun Restoran Dua Nyonya ini jadi tempat kedua kami ketemu sekaligus tempat aku jadian loh sama dia, hehe.
Hari minggunya, tanggal 9 Juli, kami bertemu lagi di GI. Saya memang mengatur ketemuannya sore hari karena siang harinya saya bertemu dengan anggota keluarga KTB dan seorang sahabat. Kakak KTB saya soalnya baru jadian! Jadilah kami ditraktir subsidi siang itu sambil bertukar cerita. Sore harinya, kami berpisah, namun saya lanjut bertemu dengan Bertha. Gak tahu kebetulan atau gak, kami bertemu dengan Bertha di depan Gramedia. Jadilah momen yang agak awkward, haha. Bertha jadi menyalami keluarga KTB dan sahabat saya. Oiya, Bertha sudah mengenal Gunawan dan Bang Yohanes, saudara dan abang KTB saya. Kalau Gunawan karena dahulu sempat satu sekolah, sementara Bang Yo, karena dulu sama-sama aktif pelayanan di Perkantas Jabar dan beberapa kegiatan TPPM.
Kami makan ramen sore itu, dan dia memberikan selai srikaya Roti Ganda yang terkenal dari Siantar. Setiap kali pergi ke mana, dia selalu bawa oleh-oleh. Saat ke Aceh, dia juga memberikan kopi Gayo. Lalu saat ke China, dia kasih manisan, permen, teh tradisional China, sama mainan Minion yang bisa terbang (walaupun menakutkan sih, soalnya kena lampu pas nyoba pertama kali, haha). Harus saya akui, untuk kali kedua saya dibuat kagum, bagaimana dia memperlakukan saudara-saudaranya dan orang lain (termasuk saya). Dia care banget. Selain itu, dia selalu mau memberi ke orang lain, gak hanya soal oleh-oleh, tapi juga soal uang tip saat makan dan kepada supir taksi dan supir ojek.
Sering berkomunikasi membuat saya juga mulai mengerti tutur kata dan pola kalimat Bertha. Dia cenderung selalu untuk memulai pembicaraan, meskipun pada akhirnya cenderung lebih pasif dan ingin ditanya balik. Emang dasarnya dia suka cerita sih, meski kadang dia sendiri khawatir kalau ceritanya itu gak penting buat saya. Oiya, kalau chat, gak tahu juga, saya merasa nyambung. Kebiasaan saya untuk menjawab blak-blakan alias to the point bisa dia terima, meskipun seiring berjalannya waktu saya juga belajar untuk menggoda dia sedikit-sedikit.
Selama PDKT ini, perlahan-lahan saya dibukakan mengenai Kriteria Teman Hidup yang dahulu sempat saya doakan. Meskipun tidak semuanya sesuai dengan yang saya harapkan, namun melalui komunikasi dengan dia (dan juga berdoa), saya bisa juga menerima dia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Mungkin dia juga seperti itu, karena saya juga bukan pria yang sempurna, kan? Sedikit saran buat para teman-teman yang sedang menjalani proses PDKT, kriteria primer (utama) silahkan dipegang teguh, tapi jangan malah fokus padahal kriteria sekunder. Tidak ada pria maupun wanita yang sempurna, cuma bagaimana cara kita bisa melihat dia dari sudut pandang yang berbeda saja. Kalau dipikir-pikir, rugi juga sih Bertha memilih saya. Ganteng? Kayaknya biasa aja. Tinggi? Saya termasuk orang yang pendek. Pinter? Boleh lah. Lantas, kenapa dia milih saya ya? haha, ntar saya kasih tahu dalam tulisan selanjutnya. Balik lagi sedikit, kalau semua dicari sempurna, kadang-kadang kita sendiri juga cape. Tuhan juga ingin kita ikutin rencana Dia. Dia tahu yang terbaik buat kita masing-masing, masalahnya kita kadang yang “agak sulit” menerima rencana Tuhan ini. Natur manusia memang mencari yang lebih dan lebih (cenderung tidak puas), namun kalau kita mau duduk tenang sebentar dan merenung kembali, mungkin kita bisa lebih bersyukur buat orang-orang yang sedang mendekati kita,
Tulisan ini saya tutup dengan sebuah lagu dari Sammy Simorangkir. Saya jadi teringat lagunya karena selama 2 minggu berturut-turut pergi ke Cikarang untuk bekerja, lagu ini terus menggema di taksi. Kata Bertha, Sammy Simorangkir ini juga kehilangan satu rusuknya loh, dan berarti dia sedang mencari si “Hawa” yang masih hilang, haha, just kidding. Walaupun lagunya lagu duniawi, namun liriknya itu keren banget. Pengorbanan seseorang yang biasa untuk membahagiakan dan menjadi pasangan yang sempurna bagi pasangannya. Semoga saya sendiri, bisa belajar untuk jadi seseorang yang–mungkin tidak sempurna–tapi yang terbaik buat dia.
Ku hanya manusia biasa
Tuhan bantu ku tuk berubah
Tuk miliki dia, tuk bahagiakannya
Tuk menjadi seorang yang sempurna untuk dia
NB: Dituliskan tepat satu bulan anniversary saya jadian dengan Bertha. Semoga langgeng ya, sayang! Biarlah Tuhan yang Menulis Cerita Cinta ini.
Tulisan dalam tema yang sama:
- Pertemuan yang Tak Terduga
- Tuhan yang Menulis Cerita Cinta
- Bekerja untuk Bisa Memberi
- Komitmen dalam Pacaran
- Mengucap Syukur Setiap Hari
- Hadiah Ulang Tahun Terindah
- Selamat ulang Tahun Pacar Tersayang
- Renungan di Hari Jadian
- Bersyukur untuk Setiap Kebaikan Tuhan di Tahun Lalu
5 thoughts on “Tuhan yang Menulis Cerita Cinta”