Yesus Membasuh Kaki Murid-Murid
Hari kamis ini, di Filipina adalah hari libur. Dikenal sebagai Holy Week atau Minggu Kudus, sebagian besar pekerja kembali ke daerah asalnya untuk merayakan paskah bersama-sama dengan keluarga mereka. Layaknya mudik atau pulang kampung bagi kita yang berada di Indonesia, namun karena mayoritas orang Filipina beragama katolik, maka Paskah dan Natal menjadi hari besar di sini. Toko, bank, perkantoran, dan pusat pemerintahan tutup selama 4 hari, dari hari Kamis hingga Minggu karena Holy Week–Palm Sunday, Maundy Thursday, Good Friday, Good Saturday, dan Easter Sunday.
Orang Kristen mempercayai hari kamis sebelum paskah adalah hari di mana Yesus bersama-sama dengan para muridnya melakukan perjamuan makan terakhir, atau Perjamuan Kudus. Di hari ini, saya mengajak para pembaca untuk sejenak merenungkan kembali mengenai kehidupan Yesus di hari -hari menjelang penderitaan-Nya.
Kisah Saat Yesus Membasuh Kaki Murid-Murid
Hari ini kami akan makan bersama. “Kami” mengingatkan saya kepada saya dan sebelas orang lainnya. Ya, kami semua diajak untuk ikut dan berjalan bersama dengan Yesus. Di sini, saya memiliki teman-teman yang baru, bahkan saya menganggapnya seperti keluarga saya sendiri. Banyak sekali waktu yang sudah kita jalani bersama. Kami sama-sama terbuka satu dengan yang lain. Dan yang paling menyenangkan adalah karena kami bisa belajar dari Guru. Siang tadi, kami mempersiapkan acara makan bersama ini, kami merapikan meja dan membersihkan ruangan. Ada juga yang membeli hidangan untuk kami santap bersama. Kami menyusun meja besar untuk perjamuan paskah. Di atas meja, lilin dan makanan tersusun amat rapi. Ruangan yang temaram menambah kekusyukan kami, apalagi setelah mendengar desas-desus bahwa Guru akan segera ditangkap dan dihukum.
Namun saya ingin bercerita. saya tidak pernah bertemu orang seperti Guru sebelumnya. Guru adalah orang yang sulit dijelaskan. Pertanyaan saya paling besar mengenai Dia adalah, siapa Dia sebenarnya? Memang saya tahu Dia adalah Mesias. Saya tahu semua mujizat yang Dia kerjakan. Dia menyembuhkan orang yang lumpuh, buta, seakit pendarahan. Ia juga bisa memberi makan orang banyak dan juga membangkitkan orang mati. Saya juga melihat saat Allah Bapa berkata, “Inilah Anak yang kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan…” (Matius 17:5). Saya tahu semua tentang Dia. Tapi tetap ada satu pertanyaan dalam hatiku.
Dia adalah Guru terbaik yang pernah ada di dunia. Dia ajaib. Dia hampir pasti adalah Anak Allah, tapi apakah benar begitu? Apakah Dia benar-benar Anak Allah? Ini adalah pertanyaan yang terus berputar-putar di otakku. Kalau Dia Mesias, kenapa Dia tidak menggunakan kekuasaannya dan menjadi raja dan memerdekakan kami semua? Mengapa Dia membiarkan orang berkata semena-mena tentang diri-Nya? Mengapa Dia mengasihi orang-orang yang tertindas? Mengapa Dia tetap mengasihi aku meskipun semua yang telah aku lakukan?
Beberapa saat kemudian, semuanya sudah berkumpul di meja makan. Begitu pula dengan Guru. Kami bertiga belas sudah duduk berkeliling di meja besar ini. Tetapi tiba-tiba, Dia bangun, menanggalkan jubah-Nya, dan meninggalkan meja. Dia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya. Eh, tunggu apa yang Dia hendak lakukan?
Dia mengambil basi dan menuangkan air ke dalamnya. Lalu ia mulai membasuh kaki teman-temanku. Setelah dibasuhnya, ia kemudian menyekanya dengan kain yang terikat di pinggangnya itu. Saya tidak tega melihatnya. Yesus membasuh kaki orang-orang, bukankah itu adalah pekerjaan seorang hamba kepada tuannya? Dia adalah Guruku, sedangkan aku adalah pengikutnya. Bagaimana bisa Dia melakukan ini semua? Bagaimana ia membasuh kaki kami layaknya seorang hamba?
Apa maksud Guru? Akhirnya tibalah pada giliran saya. Semua kaki teman-teman sudah Dia basuh. Saya tidak sanggup melihat bila Yesus membasuh kaki saya. Saya tidak tega melihat Guru harus menunduk dan membasuh kaki dan mengelapnya. Saya memberanikan diri untuk bertanya kepada Guru, “Tuhan, Engkau hendak membasuh kakiku?” Dia hanya berkata, “Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak.” Lalu aku tegas berkata, “Engkau tidak akan membasuh kakiku sampai selama-lamanya.” Dia lantas menjawab, “Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku.” Akhirnya saya hanya dapat diam saja, membiarkan Yesus membasuh kaki saya. Dengan kasih dan lembut Dia membasuh kakiku yang kotor lalu menyekanya dengan kain.
Tugasnya selesai. Kakiku dan teman-teman sudah dibasuh oleh-Nya. Ia memakai kembali jubah-Nya kemudian duduk di dekat meja. Kemudian, Ia bertanya, “Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu?”
Kami semua terdiam. Antara tidak tahu dan ragu-ragu menjawab. Kami masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Kami masih terperangah bagaimana Guru membasuh dan menyeka kaki kami satu per satu. Saya ingin mencoba menjawabnya. Tapi tidak bisa. Saya masih bingung. Mengapa? Mengapa Guru melakukan ini?
Lalu Guru berkata lagi, “Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.”
Kami pun terdiam. Beberapa terlihat masih bingung dan tidak mengerti. Tetapi aku mulai mengerti. Ia ingin kami saling merendahkan hati, layaknya seorang hamba yang melayani tuannya.
Disarikan dari Yohanes 13:1-17, kisah Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya dari sudut pandang Simon Petrus.
Menyimak Teladan Yesus Membasuh Kaki Murid-Murid
Apakah Anda masih bingung juga seperti murid-murid Yesus kebanyakan? Apa yang Yesus ingin ajarkan adalah mengenai sikap kerendahan hati. Sebuah pesan terakhir, karena Yesus sadar waktunya sudah tidak lama lagi. Sebab malam setelah perjamuan makan ini, ia sudah ditangkap oleh para tentara Romawi.
Teladan untuk saling merendahkan hati dan memiliki hati hamba itulah yang Yesus berikan. Dia membuat kita mengerti bagaimana menjadi pelayan yang sesungguhnya. Dengan Dia merendahkan diri-Nya sedemikian rupa, kini kita paham Kekristenan yang sebenarnya. Kekristenan berarti kita merendahkan hati untuk dapat mengasihi Allah dan sesama dengan sungguh-sungguh. Dengan merendahkan hati pula, kita siap diajar dan dibentuk oleh Tuhan agar hidup kita sesuai dengan rencana-Nya.
Inilah perenungan kita di hari kamis sebelum paskah ini. Kita merendahkan hati kita dan menjadi pelayan untuk dapat mengasihi Allah dan juga sesama kita. Seperti Yesus yang sudah lebih dahulu memberikan teladan mengasihi semua orang.