Ada Kisah di Ruang Tunggu C3 Soekarno Hatta
Ruang Tunggu C3? Tempat apakah itu? Atau di mana kah letaknya? Lantas, ada kisah apa di sana?
Ruang tunggu C3 adalah salah satu dari sekian banyak ruang tunggu yang ada di Bandara Soekarno-Hatta. Yup, benar, ini termasuk ke dalam cerita perjalananku ke kampung halaman selama liburan kemarin. Cerita lengkap perjalanannya saya tuliskan dalam tulisan-tulisan yang berjudul “Allah Hadir di Tengah-Tengah Keluarga”, dibaca yah..
Jadi intinya, setelah mengurus boarding pass maskapai yang akan dinaiki dan mengurus barang-barang yang dimasukkan ke dalam bagasi, kami bertujuh segera menuju ke ruang tunggu, maklum, masih ada jeda selama dua jam sebelum pesawat berangkat. Sebenarnya, menunggu ini bisa dilakukan di luar, cuma karena udara luar yang panas kami memutuskan untuk menunggu di dalam saja. Setelah Kak Lita membayar airport tax, kami semua naik ke atas dan masuk ke bagian security check. Setelah melewati bagian pemeriksaan terakhir itu, kami menuju ke Ruang Tunggu C3, ruang tunggu terdekat ke Gate C4, gate yang akan kami lalui untuk masuk ke pesawat Citilink nanti.
Di ruang tunggu C3 itulah semua kisah ini dimulai. Rasa kantuk datang dan menghinggap. Ini pasti karena kemarin malam saya tidur larut, untuk menyelesaikan tugas-tugas. Saya duduk sendirian di kursi panjang itu karena yang lain bepergian entah ke mana. Mungkin karena cukup mengantuk, saya tidak terlalu memperhatikan arah mereka pergi. Yang saya ingat, saya duduk bersandar di kursi, meluruskan kaki, dan mulai tertidur karena angin yang berhembus sepoi-sepoi.
Pikiran saya melayang sejenak, ke tanggal 11 November 2012. Saya bertemu dengan Bapatua dan Mamatua Friska di HKBP Riau dalam sebuah perayaan. Mamatua bertanya, “Bisa kan amang nanti ikut? Kita kumpul bareng-bareng looh..” Waktu itu, saya menjawab, “Kayaknya gak bisa mamatua, rencananya ada pekerjaan di Bali yang harus saya ikuti, dan itu ada di liburan tahun baru.” Di akhir perpisahan saya dengan mereka berdua, Bapatua berpesan, “Kalau bisa ikut, usahakan ya amang, biar kita bisa sama-sama berdoa nanti.” Hemm, saat itu perasaan berkecamuk, antara pergi ke Bali atau ke kampung. Pilihan yang sulit rasanya.
Tanggal 17 November 2012, saya bertemu dengan Tulang dan Nantulang Iren beserta papa dan mama yang menghadiri acara pernikahan di Bandung. Hal yang sama kembali ditanyakan, entahlah, sampai hari itu saya belum dapat memastikan apakah saya dapat menghadiri acara pulang kampung bersama itu. “Semoga saja… Biar Tuhan memberikan yang terbaik,” ujar saya di dalam hati.
Sampai dengan tanggal 11 Desember atau saat Kak Iren menanyakan perihal keikutsertaan saya, saya mengatakan, “Saya tidak dapat ikut kak.” Rasa sayang kepada keluarga besar ini membuat saya terus berusaha mencari cara untuk tetap dapat ikut. “Acaranya sekali dalam sepuluh tahun loh, amang, sayang banget kalau gak ikut” itulah yang dikatakan Tante Tiong kepada saya, entahlah saya lupa pastinya.
Kepulangan saya di malam tanggal 22 Desember 2012 membawa saya kepada kesempatan bahwa saya dapat mengikuti acara pulang kampung ini. Hemm…karena jam sudah menunjukkan pukul 00.15 alias hari Minggu, saya langsung tertidur. Ketika saya bangun, ternyata mama sudah meminta tolong kepada Kak Iren untuk membelikan tiket yang sama di tanggal 29 Desember, yang sama dengannya. Kemudian Kak Lita yang membelikan tiket kepulangan saya ke Jakarta untuk tanggal 3 Januari. Harganya mahal sekali, 3 juta rupiah untuk pulang-pergi. Sempat terpikir dalam pikiran saya sebelumnya, untuk tidak ikut serta. Namun, mama tetap membelinya. Dalam mimpi sejenak saya terpikir, inilah cara yang dipakai Tuhan. Meskipun harga tiket mahal, tokh ia tetap mencukupkannya.
Saya terbangun sejenak. Entah karena apa, mungkin karena ada seseorang memanggil nama saya. Setelah melihat pohon-pohon sekitar yang tampak hijau dan beberapa pesawat yang lepas landas, saya menyadari tidak ada yang memanggil saya. Saya melihat jam dinding di ruang tunggu itu, masih lama sepertinya. Lantas, saya kembali menutup mata.
Di dalam penglihatan saya kali ini, saya merasakan suasana yang begitu menyenangkan. Entah ini suasana apa, namun saya begitu merasa tenang dan damai di dalamnya. Mungkin ini yang namanya damai sejahtera, ketenangan natural yang berasal dari kedekatan kita kepada Allah, hemm…enaknya. Terlintas sejenak bagaimana Allah mengondisikan saya yang sebelumnya tidak dapat ikut kini dapat turut serta di dalam kebersamaan ini. Keluarga besar yang benar-benar mengasihi saya. Saya teringat kebaikan Tulang dan Nantulang Iren. Saya teringat bagaimana Mamatua dan Bapatua menyambut kedatangan saya di HKBP saat itu. Saya teringat Tante Sima yang berdoa bagi perkuliahan saya. Dan saya mengingat bagaimana saya begitu bersukacita dan excited dalam acara ucapan syukur di rumah Februari kemarin. Saya bersyukur.
Saya terbangun ketika Kak Lita memanggil saya. Kali ini beneran, karena kami akan segera masuk ke dalam pesawat. Suasana hati saya kini jauh lebih enak. Badan terasa ringan meski tadi terasa begitu lelah. Hemm, saya bergumam di dalam hati.. saya bersyukur kepada Tuhan Yesus sejenak akan semua kebaikannya di dalam kehidupan saya. Tidak banyak orang yang seberuntung saya, bisa berada di antara orang-orang yang begitu mengasihi saya. Sebuah kasih yang begitu besar, yang Ia sadarkan melalui sebuah kisah di ruang tunggu C3.