Bapatua Kini Telah Tiada
Saya berhenti persis di depan mesjid yang dijadikan acuan oleh Papa melalui telepon. Di situ tergantung bendera kuning dengan tulisan Baginda Sihombing, yang tidak lain adalah nama Bapatua. Sejenak pikiran sedih kembali merasuk seperti tadi pagi. Namun kaki saya tetap melangkah pasti menuju rumah Bapatua yang telah dipasangi tenda dan ada banyak orang yang duduk di kursi.
Pintu rumah kini terbuka, dan aku langsung melihat sebuah tempat tidur di tengah-tengah ruang tamu. Di samping tempat tidur itu ada Mamatua, Kak Lina, Kak Henny, dan Cynthia yang menangis tersedu-sedu. Ruang tamu itu kini telah berbeda amat jauh. Terakhir kali saya berkunjung ke sana, ada banyak sofa dan televisi ukuran besar yang berada di tengah-tengah ruangan. Waktu itu kami makan mie goreng sambil bercengkerama dengan gembira. Suasana yang kini berubah drastis, ruangan itu kini dipenuhi isak dan ratap tangis. Bapatuaku kini telah tiada. Ia terbaring kaku di tempat tidur dengan menggunakan setelan jas kesayangannya.
Saya masuk dan langsung menyalami Mamatua, Kak Lina, Kak Henny, dan Cynthia. Saya melihat Bapatua saya yang kini terbujur kaku. Tidak ada lagi senyum Bapatua yang dahulu selalu dia berikan ketika bertemu dengan saya. Tidak ada lagi candaan dan gurauan yang saya dengar dari mulutnya. Bapatua kini telah tiada.
Sejenak Mamatua berujar lirih, “Pa, bangun Pa, ini si Daniel kembar, pulang dia dari Bandung, mau ketemu Bapa. Pa bangun Pa, ini si kembar yang dulu kamu susah bedainnya. Kamu harus lihat telinganya kan Pa, ya Pa? Ini dia udah balik. Dia mau ketemu amamu Pak. Dia mau melihat kamu Pa.”
Mendengar hal itu, saya meneteskan air mata. Mamatua kembali berujar lirih, “Daniel, Bapatua udah gak ada. Bapatua udah ninggalin kita.” Perkataan mamatua kembali terhenti karena ia menangis. Saya duduk sejenak di samping Cynthia sambil memegang kaki Bapatua. Air mata masih menggenang di pelupuk mata saya. Ini kali kedua di tahun ini saya menangis ditinggal oleh orang yang begitu mengasihi saya. Bulan Januari kemarin, Namboru Nelly yang pergi, dan kini Bapatua Lina menyusul tidak sampai setahun. Di depan tubuh Bapatua yang terbujur kaku ini, saya meneteskan air mata kembali saat mengingat akan semua dukungan yang Bapatua berikan kepada kami berdua sejak masih kecil.
Suasana ruangan penuh dengan kesedihan. Ada Bou Emon, Bou Luhut, Mamatua David, dan Mamatua Vani yang juga duduk. Saya kemudian duduk di samping Bou Emon, tepat di depan tempat tidur Bapatua. Beberapa orang kemudian bergantian datang dan memberikan rasa belasungkawa kepada keluarga.
Papa kemudian menyuruh saya untuk makan malam, untuk kemudian pergi menjemput Mamatua Aran dan Uda Merhan di Bandara Soekarno-Hatta. Rencananya Kak Ika juga akan datang dari Jambi. Sampai detik itu, saya masih teringat persis semua kejadian yang saya alami bersama dengan Bapatuaku yang begitu baik. Ia kini telah meninggalkan saya sebelum saya mampu membahagiakannya.
Selesai makan sekitar pukul 17.40, saya dan Bang Edwin langsung menuju ke Bandara Soekarno Hatta menjemput Mamatua, Uda, dan Kak Ika. Perjalanan cukup lancar, dan kami tiba setengah delapan. Ternyata pesawat yang Kak Ika akan tumpangi tidak jadi berangkat dikarenakan kabut yang tidak kunjung mereda. Kak Ika mengatakan mungkin dia tidak jadi ke Jakarta. Akhirnya, saya dan Bang Edwin menunggu kedatangan Mamatua dan Uda. Sekitar pukul 22.00, kami telah berjumpa di pintu I-B, dan langsung menuju ke rumah Bapatua. Kami tiba pukul 00.15 di rumah Bapatua. Rumah ini sekarang jauh lebih sepi, hanya tinggal keluarga inti saja yang masih ada di rumah. Kursi-kursi di luar juga telah dirapikan. Bou Emon juga terlihat sedang membereskan rumah. Ketika melihat tubuh Bapatua, Mamatua Aran langsung menangis tersedu-sedu.
Catatan:
Bapatua (bahasa Batak) dalam bahasa Indonesia berarti Kakak Kandung dari Ayah.
Sumber Gambar : Facebook