Becak Ayah
Pagi ini tak berbeda dengan pagi sebelumnya. Tapi bisa berbeda dengan pagi sesudahnya. Pagi selalu memberikan harapan baru, menutupi kekelaman malam yang aku dan keluargaku alami. Pagi ini nampak begitu bersahabat, ingin kugantungkan harapanku setinggi matahari yang bersinar. Walaupun seringkali aku dikecewakan, tapi harapan itu muncul lagi dalam hati dan sanubariku. Seperti munculnya matahari dari peraduannya setelah semalaman hilang dari pandangan. Harapan penantian akan kepulangan Ayah, harapan akan kesejahteraan keluargaku. Kulihat becak Ayah di depan rumah. Sejenak pikiranku melayang.
Hari itu, Ayah pergi pagi-pagi sekali, tidak seperti biasanya. Aku belum membuka mataku ketika kudengar dia berpamitan dengan Ibu. Hari itu juga, bersama becaknya, Ayah pulang lebih malam daripada biasanya. Kuingat waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Tenagaku telah habis terkuras untuk sekedar mencuci becak Ayah yang nampaknya sangat kotor. Kutinggalkan Ayah untuk berbaring di ranjang bambuku. Kulihat Ayah membersihkan becaknya lewat jendela kamarku. Ya, becak itulah satu-satunya penghasilan Ayah, untuk sekolahku dan untuk keluargaku, bahkan untuk masa depan keluarga kami selanjutnya.
Aku terhenyak, Ibu memanggilku untuk membantunya merapikan rumah kami. Sudah dua tahun setelah kepergian Ayah, kulakukan hal serupa. Selesai merapikan rumah, aku pergi ke sekolah. Siangnya, aku membantu Ibu berjualan nasi uduk dan kudapan di kios kecil depan rumah. Hidup kami banyak berubah setelah ditinggal Ayah. Ibu jadi sering kelelahan, akupun begitu. Tapi itu semua hanya untuk sekolahku, pendidikan yang kata Ibu tak boleh ditinggalkan untuk alasan apapun. Pendidikan yang selalu diusahakan Ayah dengan mengayuh becaknya.
Siang ini berbeda dengan siang sebelumnya. Pulang dari sekolah, segera kuhampiri Ibu untuk membantunya berjualan. Pembeli sedang sepi, mungkin karena hujan yang turun dengan derasnya dari pagi dan belum berhenti. Sekilas kulihat becak ayah, yang mulai basah karena air hujan. Kayunya mulai lapuk dan atapnyapun sudah mulai sobek, hingga air hujan leluasa membasahi becak ayah. Kuperhatikan becak itu. Sekonyong-konyong pikiranku melayang.
Hari terakhir sebelum kepergian Ayah, hujan di siang hari, Ayah pulang cepat. Aku bertanya-tanya, ada apa gerangan. Apakah yang terjadi kepada Ayahku? Atau ada alasan lain? Ayah segera menghampiri Ibu dan berbicara empat mata sebentar. Ibuku hanya diam saja, aku tak mengerti mengenai hal tersebut. Esok harinya, Ayah berpamitan denganku, dengan Ibuku. Aku bingung. Biasanya Ayah tak pernah berpamitan denganku seserius itu, ‘ayah mau kerja dulu ya’ itulah yang biasanya kudengar. Tapi kurasakan ada hal yang berbeda. Hal yang menusuk tepat di tengah-tengah dadaku.
Ayahku berpesan agar aku tetap bersekolah dengan baik, tetap melanjutkan cita-cita mulianya itu. Aku hanya tertunduk lesu dan merelakan Ayah pergi. Ibuku juga begitu, namun ia tampak lebih tabah. Aku baru tahu kalau Ayah pergi merantau, entahlah ke mana, karena ibu sendiri juga tidak tahun pasti. Tapi satu janji yang tetap kuingat bahwa ia akan kembali, kembali padaku, pada Ibuku. Saat itulah aku sangat bangga pada Ayahku, ya walaupun ayahku hanyalah seorang tukang becak. Kulihat becaknya yang basah dengan air hujan, sama dengan pipiku yang mulai basah dengan air mata, teringat masa-masa lalu.