From Bengkulu with Love Part 7: Orang Batak yang Berkerabat
Sampai di Bandara Fatmawati sekitar pukul 17.50 membuat saya dan Pak AA harus sedikit berlari dari lapangan parkir bandara. Alhasil setelah check-in, tempat duduk kami terpisah jauh. Pak AA di bangku depan sedangkan saya di bangku belakang.
Saya duduk di tengah, di mana sudah ada seorang nenek yang duduk dahulu di sisi luar. Setelah membantunya memakai dan mengencangkan sabuk pengaman kami kemudian berkenalan. Dia mengenali saya sebagai orang Batak terlebih dahulu dari cara bertutur saya saat membantunya memakai sabuk pengaman. Saya memperkenalkan diri kepadanya, kemudian begitu pula dengan inang tersebut (Inang adalah sebutan sayang kepada wanita dalam bahasa batak, biasanya ditujukan kepada yang lebih tua).
Orang Batak yang Berkerabat
Ternyata kami berkerabat. Itulah orang Batak. Itulah juga mengapa saya bersyukur lahir dalam suku Batak. Dia boru Nababan (Nababan dalam garis keturunan Batak berada dalam satu keluarga langsung dengan marga saya Sihombing). Ditambah lagi suaminya yang bermarga Batak. Jadilah kekerabatan itu makin dekat. Ompung Doli dan Ompung Boru dari papa juga bermarga Sihombing dan boru Nababan, persis seperti mereka. Namun, suami dari inang ini sudah meninggal dunia sejak beberapa tahun yang lalu. Jadilah dia tinggal seorang diri di Bengkulu karena anak-anaknya berada di Jakarta dan Bandung.
Inang ini ternyata membawa tiga orang anak kecil yang adalah cucu-cucunya. Yang terbesar perempuan namanya Angel, kemudian laki-laki yang namanya adalah James (saya tidak mendengarkan dengan jelas karena suara mesin pesawat saat itu terdengar keras di dalam kabin), dan yang terakhir seorang perempuan bernama Monica. Inang ini menceritakan ketiga cucunya tinggal bersama dengan dia di Bengkulu karena ayahnya yang berada di Bandung sibuk bekerja, juga ditambah keadaan istrinya (mama dari ketiga cucunya) sudah meninggal sejak tiga tahun yang lalu. Inang ini kemudian memutuskan untuk merawat cucu-cucunya di Bengkulu.
“Supaya saya juga ada teman amang, kasihan juga mereka sendirian dan gak ada yang jagain karena anak saya sibuk bekerja,” tutur inang itu.
“Ya, gapapalah itu inang. Anak-anak pasti senang. Inang juga senang. Pasti Tuhan juga senang. Saya berdoa supaya inang bisa terus menjaga dan mendampingi mereka hingga besar.”
“Makasih amang atas doanya,” ujarnya sambil menepuk bahu saya. “Benarlah itu, semoga saya dikasih umur sama Tuhan.”
Akhirnya obrolan kami berakhir ketika lampu di kabin sudah dipadamkan. Inang itu pun terlihat menutup mata dan tertidur dengan kain yang digunakan untuk membalut lehernya supaya tidak kedinginan. Berbeda dengan penerbangan kebanyakan di mana lampu kabin hanya dimatikan saat pesawat ingin lepas landas dan mendarat, penerbangan kali ini lampu kabin hampir mati sepenuhnya. Mungkin karena guncangan yang kerap terjadi sepanjang penerbangan ini karena kami melewati jalur dengan hempasan angin yang cukup besar.
Saat pesawat mendarat di Terminal 3 Soekarno Hatta, kami masih bersama-sama turun dan menunggu jemputan bus yang akan mengantarkan kami ke Terminal 1C. Inang itu namun nampak sibuk karena harus menyuapi James dan Monica dengan roti bungkus yang mereka bawa. Mereka berlari-larian sambil mengambil beberapa foto di sekitaran pesawat-pesawat besar yang sedang mendarat. Kami akhirnya harus berpisah ketika saya dan Pak Budi naik mobil yang sudah menjemput kami untuk kembali ke Bandung.
Terima kasih buat hubungan kekerabatan ini. Saya bersyukur dan amat bersyukur. Saya belajar bahwa hubungan saudara dan kerabat nyatanya membuat kita yang “jauh” menjadi “dekat” yang “tidak kenal” menjadi “akrab”. Itulah indahnya kekerabatan. Itulah orang Batak yang berkerabat.
Sumber Gambar : http://alternativehomestoday.com