Catatan Tentang Sepeda
Tokh, meskipun angin kencang bertiup menerpa wajah saya, saya tetap dapat mengayuh sepeda dengan mantap. Entah karena pelindung kepala dan telinga kah? Atau karena kacamata yang saya gunakan kah? Atau mungkin karena saya sudah terbiasa? Saya tetap dapat melihat jalan dengan baik walaupun tetes air hujan mulai menempel di kacamata saya. Dalam malam yang dingin itu, saya bisa merenung. Di tengah angin kencang yang menusuk masuk menembus jaket dan sarung tangan tebal saya masih dapat merenung. Pikiran saya melayang saat melihat sorotan lampu sepeda dari dinamo di roda yang menerangi jalan depan saya. Sorotan lampu yang sama dari sepeda yang sama, yang menemani saya saat pergi di malam hari.
Dua tahun lebih sudah saya hidup di Jepang. Di tahun kedua kuliah di Jepang, hidup bertambah kompleks. Saya harus pintar-pintar membagi dan memanfaatkan waktu. Kuliah di tahun kedua agak padat, setiap hari dimulai pada pukul 9 pagi dan selesai pada pukul 7 malam. Terkadang saat praktik atau berdiskusi dengan Sensei saya pun pulang agak telat, sekitar pukul 8 malam. Saya pun sering terlambat makan akhir-akhir ini.
Tidak hanya terlambat makan saja, kadang saya harus buru-buru pergi ke supermarket. Karena sepanjang hari ada kuliah, saya hanya bisa pergi membeli barang-barang kebutuhan saat malam hari saja. Sepulang kuliah jam 8 malam, saya meletakkan tas dan kertas-kertas kuliah, makan malam sebentar, dan langsung pergi lagi. Saya harus bergegas pergi ke supermarket yang tutup pada pukul 9 malam. Saat itulah sepeda menjadi sangat bermanfaat. Dengan naik sepeda, saya tidak hanya dapat menghemat ongkos, tapi juga waktu perjalanan. Dengan sepeda saya bisa sampai di supermarket dalam 10 menit saja. Saya pun punya cukup waktu untuk berbelanja barang kebutuhan dengan baik.
Tidak hanya ke supermarket saja, sepeda juga sangat menolong di kala saya hendak pergi ke gereja. Kalau tidak ada sepeda, saya mungkin harus pergi ke stasiun berjalan kaki karena belum ada bus di Minggu pagi. Kalau tidak ada sepeda, saya mungkin tidak bisa pelayanan di gereja karena perlu waktu lama untuk sampai di gereja. Kalau tidak ada sepeda, saya mungkin akan kesulitan tiba tepat waktu, kesulitan karena harus keluar ongkos melulu.
Sepeda adalah barang pertama yang saya beli begitu tiba di Jepang. Saya tiba di Jepang hari Kamis tanggal 30 September 2010, dan membeli sepeda hari Sabtu tanggal 2 Oktober 2010. Saya membelinya bersama senpai/ kakak kelas di Royal Home Center, sebuah toko serba ada di dekat tempat tinggal saya. Waktu itu saya harus membayar hingga 17000 yen, jumlah yang sangat besar menurut saya, mengingat waktu itu saya hanya membawa sekitar 24000 yen saja dari Indonesia. Waktu itu uang beasiswa juga belum turun.
Meskipun kelihatannya mahal, tapi harganya sesuai dengan fasilitasnya. Sepedanya dilengkapi dengan gigi gerigi sehingga praktis dan juga lampu dan dinamo pada roda depan. Ada juga rantai pengaman dan keranjang di depan. Hingga saat ini, saya tidak pernah menyesal membeli sepeda itu. Sepeda adalah penolong kehidupan saya di Jepang.
Sepeda yang terus maju seiring kayuhan kaki saya. Sepeda terus maju seiring usaha saya ingin terus berlari dan maju. Sepeda menemani saya pergi ke daerah-daerah baru dan jauh. Sepeda menemani saya menerobos gelapnya malam dengan lampu kecilnya yang tetap terang. Rantainya yang kuat dan kokoh seakan berkata kepada saya, “Ayo maju Nugroho, saya tetap menemanimu.”
sumber gambar sepeda: blogspot