Dulu saya lebih sering berjalan ke depan kompleks perumahan. Tapi karena ada jalan baru yang dibuka, akhirnya saya kini memilih jalan dari belakang kompleks. Ini karena jalannya lebih mulus dan jarak tempuh lebih cepat. Di perjalanan pulang lewat belakang, saya pasti melewati lapangan beton kecil di pinggir jalan. Kini lapangan itu sudah agak tidak terurus, jadi alang-alang sudah tumbuh agak tinggi. Namun masih tetap ada beberapa anak yang bermain pada sore hari. Mereka bermain bola, karet, atau sekedar kejar. Tersenyum saya melihat semuanya. Pikiran saya sejenak melayang ke beberapa tahun lalu. Saat lapangan ini menjadi kebanggaan seperti di kartun. Saat lapangan ini menjadi tempat kami meluapkan euforia kanak-kanak. Ya, di saat itu.
Di lapangan yang inilah, saya, abang, dan mama sering bermain waktu kecil. Sewaktu belum sekolah, kami bangun pagi-pagi dan berjalan ke sini. Di lapangan yang sama ini, saya juga bermain. Mama berkata bahwa kami sering bermain kejar-kejaran atau memindahkan batu. Saya sih sudah lupa dengan hal itu. Tapi berkat mama, saya mampu menuliskan cerita ini.
Tidak sampai 100 meter, ada lagi lapangan. Kali ini adalah lapangan sekolah Widyaduta. Buat saya lapangan ini legendaris. Hampir setiap hari saat di sekolah dasar, saya dan abang bermain di sini. Tidak hanya kami, tetangga juga ikut bermain. Ada Bang Niko dan Naomi. Tetangga saya juga, ada Dhika, Kak Era, Bang Eki, Abuy, Budy, atau Wenny yang juga ikutan. Nama terakhir inilah yang pada minggu lalu bercerita tentang masa lalu, di mana kami bebas main apa saja di sana. Cerita itulah yang menginspirasi saya untuk menulis cerita tentang lapangan yang bersejarah ini.
Lapangan dekat rumah tempat kami bermain
Suatu kali saya, abang, juga tetangga kami bermain di lapangan itu sampai sore hari. Entah mengapa tiba-tiba muncul seorang pria yang agak marah dan menyuruh kami untuk membersihkan lapangan. Akhirnya dengan air dan sapu lidi kami membersihkan lapangan. Papanya Wenny pertama datang, menyuruh untuk pulang. Tapi Wenny tidak langsung pulang. Dia mencari alasan agar semuanya bisa kembali ke rumah. Dhika disuruh memberi makan anjing. Abuy dan Budy disuruh untuk membersihkan rumah. Sedangkan saya dan abang disuruh untuk mengerjakan PR. Wah, waktu itu Wenny jadi penyelamat untuk kita semua.
Pernah juga saat keluarga Tulang Iren dan Nantulang datang ke rumah, saya, abang, Bang Niko, dan Naomi bermain di lapangan itu. Kami bersemangat sekali bermain bulutangkis ganda dan sepakbola walaupun silau karena lampu neon sudah dinyalakan, mengingat saat itu hari sudah gelap. Intinya lapangan itu menyimpan terlalu banyak kenangan yang sayang kalau dilupakan begitu saja.
Hari ini, esok, dan paling lambat bulan depan saya masih dapat melihat lapangan ini secara langsung dengan mata kepala sendiri. Tapi mungkin tidak lagi dalam kurun waktu agak lama. Semoga saja lapangan ini tetap ada, menjadi saksi bisu kegembiraan kami.