From Jember With Love-6: Harta yang Paling Berharga
Harta yang paling berharga adalah keluarga
Istana yang paling indah adalah keluarga
Puisi yang paling bermakna adalah keluarga
Mutiara tiada tara adalah keluarga
Selamat pagi Emak
Selamat pagi Abah
Mentari hari ini berseri indah
Terima kasih Emak
Terima kasih Abah
Untuk tampil perkasa bagi kami putra putri yang siap berbakti
Harta yang Paling Berharga Adalah Keluarga
Memang benar, harta yang paling berharga adalah keluarga, mungkin tidak bagi semua orang, namun itu berlaku bagi saya pribadi. Keluarga lebih berharga dari apapun di dunia ini, uang boleh banyak, rumah besar dengan beberapa mobil terparkir di garasi, jabatan tinggi, namun semuanya tidak berarti ketika tidak ada orang lain (keluarga) yang menikmati. Ya, semua kekayaan dan harta yang melimpah hanya dinikmati seorang diri (atau keluarga sendiri) saja. Sayang bukan?
Saya bersyukur, papa dan mama termasuk orangtua yang mengajarkan kepada saya mengenai pentingnya keluarga, apalagi keluarga besar. Sejak kecil kami selalu diajak untuk mengikuti acara-acara keluarga, entah itu arisan, partangiangan (kebaktian), pernikahan, maupun kematian. Kami sudah dibiasakan untuk bisa berinteraksi dengan keluarga yang lain, terutama kakak dan adik dari papa dan mama. Dalam budaya batak, mereka-mereka inilah yang memiliki kekerabatan paling dekat, yaitu: tulang-nantulang, bapatua-mamatua, uda-inanguda, amangboru-namboru, serta semua saudara sepupu saya. Dan keluarga selalu ada di dalam hati saya, setidaknya itu tercermin dari pokok-pokok doa yang selalu saya panjatkan setiap harinya.
Nah, kesempatan untuk mengunjungi Jember sabtu kemarin ternyata memberikan saya kesempatan juga untuk mengunjungi amangboru-namboru Jember. Begitulah adik dan saya menyebutnya sejak kecil, karena memang mereka tinggal di Jember. Namboru Jember adalah adik perempuan papa yang memang sejak menikah sudah menetap di kota di ujung Jawa Timur. Sekarang anak perempuan pertamanya, kak Hernawati, menetap dan bekerja di Jakarta, sebagai seorang guru matematika. Kemarin-kemarin, kakak sering berkunjung ke rumah bahkan mengenalkan calon suaminya kepada papa dan mama.
Nah, saya harus akui, bertemu dengan Namboru Jember–apalagi amangboru–merupakan suatu hal yang langka. Mengapa? Karena pada kenyataannya kami hanya bertemu di saat-saat ada acara besar keluarga: pernikahan atau kematian. Saya masih ingat jelas kami bertemu terakhir saat kepergian Bapatua Lina, September 2012 lalu. Dan saya bersyukur, kali ini saya punya kesempatan itu: mengunjungi mereka. Belum lagi ditambahkan bou (panggilan pendek Namboru) bahwa rumahnya tidak jauh dari Politeknik Negeri Jember, tempat saya membawakan seminar sabtu pagi itu.
Jadilah pagi itu, amangboru menjemput saya di Politeknik Negeri Jember. Ketika saya sedang berdiskusi mengenai energi arus laut bersama dengan para dosen, amangboru masuk dan menyalam saya. Saya kaget karena saya belum pernah bertemu dengan amangboru sama sekali, namun saya bersyukur ia mengenali saya, hehe.
Jadi, segera setelah diskusi itu berakhir saya langsung menuju ke rumah mereka dengan naik motor. Motor yang sama persis dengan motor yang kami miliki dahulu. Pikiran saya terlontar siang itu saat kami menembus jalan-jalan di Kota Jember, melihat kebun-kebun yang ditanami aneka tanaman di pinggir jalan: saya bersyukur sekali. Saya harus bersyukur untuk berkat Tuhan Yesus melalui keluarga yang selalu mendukung dan membimbing saya. Bahkan, jauh menyayangi saya lebih dari yang dapat saya bayangkan.
Sumber Gambar : carlthemuse.files.wordpress.com