Kisah dari Pohon Jambu: Sebuah Awal
Aku tidak tahu kapan tepatnya aku lahir di dunia. Yang aku tahu aku telah menjadi pohon kecil dalam wadah plastik ketika aku diberikan oleh pemilikku kepada seseorang yang kini menjadi pemilikku. Dia kemudian menanamku di pekarangan depan rumahnya yang baru di tahun 1989. Tepatnya 15 September 1989. Pemilikku yang saat itu adalah keluarga yang baru, mereka baru saja menikah dan belum memiliki anak. Mereka tinggal berdua saja. Dahulu aku hanyalah pohon kecil yang tidak berarti apa-apa. Diinjak oleh orang pun mungkin aku akan langsung mati. Tetapi kini, setelah 23 tahun aku tertanam di pekarangan rumah mereka aku telah menjelma menjadi pohon yang lebat. Tinggiku hampir 25 meter, mungkin aku pohon tertinggi di perumahan ini. Daun-daunku rindang dengan daerah jangkauan hampir 50 meter persegi. Setahun tiga kali aku menghasilkan buah-buah jambu air yang begitu menyegarkan buat banyak orang.
Maklumlah, pemilikku sekarang sering membagikannya kepada orang-orang sekitar, atau sekedar membiarkan buah-buahku diambil oleh orang-orang yang lalu lalang di bawahku.Selain itu, aku juga menjadi sumber kehidupan bagi banyak tumbuhan dan hewan-hewan lain. Daun-daunku yang berguguran dibuat menjadi pupuk yang menyuburkan pepohonan yang lain. Banyak hewan-hewan yang juga berlindung di bawah naunganku. Sering juga beberapa orang beristirahat pada siang hari di bawah rindangnya daunku. Ah, aku tersenyum senang. Aku merasa kehidupanku begitu berarti.
Oh iya, aku hampir lupa. Sebenarnya aku memiliki hubungan yang paling dekat dengan dua orang di dunia ini. Mereka adalah anak dari pemilikku. Ya, benar, sejak tahun 1991, keluarga pemilikku mendapatkan dua orang anak. Mereka kembar. Selain itu, seiring berjalannya waktu, aku juga bisa mengetahui nama-nama mereka. Daniel dan Nugroho. Daniel yang lahir terlebih dahulu. Nugroho lahir belakangan. Sejak masih kecil mereka sering berteriakan di bawahku saat bermain bersama dengan anak-anak yang lain. Jujur aku katakan sekarang, sebenarnya teriakan anak-anak saat bermain bersama inilah yang membuat aku merasa begitu senang. Kadang mereka bermain bulutangkis, sepakbola, kelereng, atau sekedar berlarian.Tetapi kedekatanku dengan mereka sebenarnya bukan dibangun pada saat mereka bermain bersama. Aku semakin dekat dengan mereka ketika mereka bekerja sama untuk membersihkan diriku. Orangtua mereka yang pulang kerja pada sore hari membuat mereka sudah belajar untuk membersihkan seluruh rumah sejak kecil. Seingatku, mungkin sejak mereka kelas satu sekolah dasar. Setiap sore mereka berbagi tugas, yang satu ada yang menyapu teras kemudian mengepelnya, yang lainnya membersihkan daun-daunku yang berguguran di pekarangan rumah. Setiap hari, selagi bisa mereka akan selalu berupaya untuk membersihkan diriku. Daun-daun yang berguguran dikumpulkan. Aku juga disiram dengan air yang begitu menyegarkan. Aku senang sekali. Ini sebenarnya yang membuatku begitu merasa dikasihi. Mereka menyayangi aku sebagaimana mereka sekeluarga saling mengasihi.
Pertemuanku dengan mereka semakin berkurang ketika mereka masuk ke SMP. Perjalanan pulang yang jauh dari sekolah membuat mereka sering sudah kelelahan ketika tiba di rumah. Namun, mereka tetap selalu berusaha untuk hadir di bawahku. Mereka terus menyayangiku, dan itu tidaklah pudar meski waktu terus berjalan. Keadaan seperti ini juga terus berlanjut saat mereka menempuh pendidikan di SMA. Mereka semakin jarang hadir bersamaku. Sepanjang hari aku hanya melihat rumah mereka yang kosong beserta ribuan kendaraan yang lalu lalang di bawahku. Tetapi aku tetap senang, karena setiap pagi aku tetap dapat menyaksikan mereka pergi ke sekolah bersama dengan papa dan mama. Setiap sore atau malam juga aku menyaksikan mereka tiba di rumah. Hari-hariku diwarnai dengan menyaksikan mereka tumbuh besar. Dahulu mereka berdua masih kecil hingga kini sudah beranjak dewasa.
Waktu begitu cepat berlalu, rumah mereka yang dahulu kecil, sudah direnovasi menjadi rumah sederhana bertingkat dua. Aku lupa tanggal pastinya, namun seingatku, sekitar tahun 1995. Sekarang sudah ada pergola dan teras, di mana Daniel dan Nugroho sering bermain bersama setiap sorenya. Jalanan yang berada di hadapanku bahkan sudah banyak juga berubah. Dahulu paving blok, kemudian menjadi jalanan aspal, dan terakhir menjadi aspal beton. Perubahan berjalan terus, seiring umurku yang juga terus bertambah. Ini kisah dari ku, kisah dari pohon jambu di depan rumah.