Mengasihi Tidak Harus Memiliki
–dituliskan sebagai cerita sampingan Perjalanan ke Desa Toyapakeh, Nusa Penida, Bali
Wah, judul dari tulisan kali ini mungkin sedikit kontroversial. Tidak biasa. Mungkin bagi sebagian orang judul tulisan ini menggambarkan isi hatinya. Atau mungkin ada orang yang biasa saja membaca judul tulisan ini. Namun ijinkan saya membagikan sedikit mengenai pandangan saya mengenai hal ini. Tidak ada salah, tidak ada yang benar pula. Bagian saya kali ini hanyalah membukakan wawasan mengenai hal mengasihi ini.
Saya memperoleh inspirasi mengenai tulisan ini sore ini di pinggir pantai Desa Toyapakeh, Nusa Penida, Bali. Sambil melihat-lihat pemandangan sore di pinggir pantai saya bertemu dengan Bapak Mahmudin dan Abdul. Bukan orang asing memang. Bapak Mahmudin adalah Bapak yang membukakan pintu rumahnya bagi kami selama di Bali. Mulai dari menjemput kami di hari minggu, menemani kami menuju ke tempat-tempat tertentu, bahkan hingga menyediakan makanan dan minuman bagi kami semua. Sedangkan Abdul adalah anak kecil yang dititipkan oleh orangtuanya di rumah Bapak Mahmudin. Ayah dan ibunya membuka bengkel las sehingga Abdul yang masih kecil terlalu berbahaya jika ada di rumah yang sekaligus dijadikan bengkel itu. Sore itu, mereka sedang berjalan-jalan di pinggir pantai menikmati sore hari, layaknya yang saya lakukan.
Bapak Mahmudin berjalan bersama Abdul di pinggir pantai |
Bapak Mahmudin membeli dan menyuapi Abdul jajanan nuggetyang dijual di pinggir pantai. Saya pun turut serta. Ketika itu saya sempat mengobrol dengan Bapak Mahmudin mengenai keberadaan Abdul di rumahnya. “Keluarga bapak baik sekali ya sama Abdul, udah kayak anak sendiri sayangnya, ” ujar saya. “Ya, begitulah mas, gak tahu keluarga sayang sama dia.” Memang, selama tiga hari keberadaan saya di rumah Bapak Mahmudin, Abdul selalu hadir dan menemani hari-hari kami. Ia senantiasa berlari ke sana ke mari, mengambil barang ini dan itu, dan membuat suasana rumah menjadi “ramai” dan lebih hidup. Ah, ini pasti karena dia anak kecil satu-satunya di rumah ini, sehingga fokus dan perhatian seluruh penghuni rumah—termasuk saya dan teman-teman—tertuju pada dia semata.
Abdul saat sedang bermain dengan bidak-bidak catur |
Bapak Mahmudin hanya tersenyum kecil sambil terus menyuapi Abdul dengan nugget yang masih ada di tangannya. Saya? Saya memegang tangan mungilnya sambil sesekali mengusap kepalanya. “Semoga saat besar nanti dia bisa membanggakan kedua orangtuanya juga keluarga Bapak Mahmudin,” doa saya dalam hati. Dalam hati saya pun mendoakan agar semakin banyak orang-orang seperti Bapak Mahmudin di dunia ini.
Beberapa saat kemudian, ada seorang ibu yang berteriak, “Abdul,” yang ternyata adalah ibu kandung Abdul. Bersama dengan suaminya dan anak perempuannya yang sudah beranjak besar, mereka datang dengan naik motor ke pantai Desa Toyapakeh. Kemudian Abdul pergi meninggalkan kami berdua duduk di pinggir pantai. Sebuah kenangan kecil yang secara tidak langsung memaksa saya untuk menuliskan kisah ini. Sebuah kisah tentang mengasihi tidak harus memiliki.
Mengasihi memiliki kata dasar kasih. Bila ditelusuri penambahan imbuhan pada kata dasar ini, mengasihi berarti memberikan atau melakukan kasih. Mengasihi adalah perintah Allah bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya. Alasannya bukan untuk memperoleh berkat karena sudah berbuat baik atau supaya masuk sorga, semata-mata adalah sebagai rasa syukur kita karena kita sudah begitu dikasihi oleh Allah sebelumnya. Kasih yang begitu agung dan mulia yang seakan-akan membuat kita tidak akan tega untuk membagikan kasih itu kepada orang-orang di sekitar kita. Ah, terlalu picik rasanya jika kasih itu saya simpan sendiri tanpa ada keinginan untuk membagikannya.
Tetapi tujuan mengasihi terkadang berubah seiring berjalannya waktu. Dulunya tulus dan murni, namun lama kelamaan kita ingin memiliki. Di titik akhir, muncul paksaan. Kasih yang harusnya membangun pribadi malahan akan merusak dan mengancam. Ah, kasih itu akhirnya berubah. Ah, kasih itu malah membawa dampak negatif. Mengasihi harus diikuti dengan memiliki. Begitu kesempatan untuk memiliki itu hilang atau tidak mungkin datang lagi, rasa itu hilang. Kasih itu menjadi hambar dan tidak ada lagi seperti dahulu. Ketika ditanya mana kasih yang dahulu, jawabannya: semua telah berubah dan tidak mungkin sama seperti dahulu lagi. Aduh…
Saya belajar dari keluarga Bapak Mahmudin. Mengasihi itu tidak usah dipaksakan. Biarkan saja kasih itu yang menemukan jalannya. Mengasihi itu juga tidak harus memiliki. Ketika kasih itu mulai ditunggangi kepentingan, rasanya itu bukan kasih lagi. Itu menjadi pamrih dan “menghutangi” orang lain. Keluarga ini tulus mengasihi Abdul, bayangkan menjaganya sepanjang hari. Memberikan makan. Memandikan. Mengganti baju dan mencucinya. Menggantikan popoknya. Lebih dari itu, mereka mencurahkan kasih sayang kepada Abdul. Mereka sekeluarga bahu-membahu menemani dan menjaga anak ini di tengah kesibukan masing-masing.
Kepergian Abdul sore itu kepada ayah dan ibunya di pinggir pantai membukakan mata saya inilah arti sebenarnya dari mengasihi. Kasih itu tulus. Ia sabar dan tidak mengharapkan balasan. Kasih yang tulus yang akan menemani Abdul mungkin hingga dia besar nanti. Kasih yang sama yang ingin saya berikan kepada orang-orang di sekitar saya—mengubahkan dunia yang kering ini menjadi berwarna dan dipenuhi dengan kasih. Kasih tulus tanpa ditunggangi kepentingan apa pun.