Menjadi Kakak yang Baik
Tidak pernah saya sangka bahwa saya termasuk ke dalam nominasi menjadi kakak terbaik dan terlucu hari itu. Tipikal orang yang serius dan pragmatis seperti saya rasanya begitu sulit untuk memulai hubungan dengan orang lain, apalagi untuk memperoleh nominasi untuk kategori lucu dan baik. Sampai sekarang saya masih bertanya-tanya pada diri saya. Oiya, saya hampir lupa. Acara tersebut adalah retret anak-anak Sekolah Minggu yang diadakan di Vila Pasaasih, Tugu, Puncak, tanggal 28-30 Juni 2012.
Di awal Juli, saya diajak oleh Tante Hana untuk bergabung di retret ini sebagai pembicara. Di dalam retret itu saya akan membawakan materi mengenai pentingnya berkomunitas dari sisi anak-anak. Waktu itu saya langsung mengiyakan ajakan ini. Keterikatan terhadap sekolah minggu yang telah berjasa besar bagi kehidupan saya adalah motivasi yang membuat saya harus mengatakan “ya” untuk semua hal yang terkait dengan acara-acara sekolah minggu, selagi bisa saya ikuti. Kebetulan, saya juga sedang liburan semester dan tidak ada acara yang berlangsung pada sekitaran tanggal tersebut.
Menjadi Kakak di Acara Retreat
Singkat cerita, dari ABI Kranji, ada 11 orang yang ikut retret ini. Delapan orang perempuan, sisanya laki-laki. Saya bertugas untuk membimbing mereka semua untuk dapat mengikuti acara retret ini dari awal sampai pada akhirnya, khususnya untuk yang laki-laki, yaitu Farel, Valentino, dan Michael. Bisa dibilang saya tidak terlalu mengenal mereka yang mengikuti retret ini, karena intensitas pertemuan yang jarang. Paling-paling dua bulan sekali, ketika saya sedang pulang ke Bekasi dan membawakan Firman Tuhan di kelas yang besar.
Hari pertama retret berlalu dengan cepat. Baru pada malam harinya saya dapat berkunjung ke kamar Nomor 7, tempat di mana semua anak perempuan dari ABI Kranji disatukan. Sewaktu itu, saya datang untuk menyuruh mereka tidur. Itulah interaksi pertama saya dengan mereka. Kesempatan bertukar cerita mengenai semua kegiatan yang dilakukan pada hari itu, menjadi awal kedekatan kami. Meskipun pada awalnya ada jarak diantara kami [karena belum terlalu mengenal satu dengan yang lain], perlahan-lahan suasana menjadi lebih hangat. Saya berbagi beberapa cerita, humor, sambil sesekali menyelipkan beberapa nasehat kepada mereka.
Ivana dan Grace adalah yang paling sering bercerita mengenai perasaan mereka. Mereka menceritakan kebosanan mereka saat mendengarkan Firman, mengenai teman-teman yang mereka baru kenal, dan mengenai kakak-kakak sekolah minggu yang lain. Tasya dan Febri yang lebih pendiam juga banyak bertanya mengenai jadwal-jadwal acara. Angel, Erika, Sandra, dan Iva yang lumayan “berisik” malahan menceritakan anak-anak lain yang mengikuti retret ini. Wah, rasanya hari itu saya menjadi kakak bagi delapan orang adik perempuan. Mendengarkan celotehan mereka satu persatu awalnya terasa begitu melelahkan, namun ucapan-ucapan mereka yang polos terkadang membawa sukacita tersendiri bagi kehidupan saya, apalagi ditambah dengan ingatan-ingatan masa lalu yang mirip dengan apa yang mereka ceritakan.
Sepanjang pagi pada hari yang ketiga menjadi tempat bagi saya untuk banyak berinteraksi dengan mereka. Sekolah, kehidupan dan keluarga, dan teman-teman lelaki yang ada di retret kali ini adalah pokok-pokok pembicaraan kami pagi itu. Mereka begitu ingin berbagi cerita dan menemukannya di dalam diri saya sebagai pendengar yang setia dan baik. Untuk beberapa momen, saya membalikkan cerita mereka menjadi humor yang lucu dan mendidik mereka. Itulah mungkin yang mereka ingat. Saya tidak pandai melucu, namun dengan menjadi pendengar yang baik saya dapat menyelami perasaan mereka satu persatu.
Mungkin itulah yang membuat nama saya untuk beberapa kali terpanggil dalam kategori menjadi kakak terbaik dan terlucu. Seingat saya, mungkin sekitar belasan kali. Tidak pernah saya duga sebelumnya. Melihat kakak-kakak sekolah minggu lain, seperti Ribka dan Kak Fitri atau dari ABI lain yang lebih intens bertemu dengan mereka, saya merasa diri saya tidak pantas menerima kenyataan ini. Ribka dan Kak Fitri jauh lebih pantas karena hampir setiap minggu mereka ada di ABI Kranji, sedang saya mungkin dua bulan sekali.
Namun, menjelang kepulangan kami dari Vila Pasaasih siang itu, saya menyadari bahwa Allah ingin saya menjadi kakak yang baik bagi semua adik-adik yang saya kenal. Menjadi pendengar yang baik bagi semua cerita, humor, dan keluh kesah yang mereka miliki. Kedekatan itu terbangun dengan sendirinya ketika saya mau merendahkan diri untuk menyelami perasaan mereka. Mereka dekat, namun tetap hormat. Meskipun gelar kakak terbaik dan terlucu akhirnya jatuh ke tangan Kak Ipan, saya begitu bersyukur kepada Tuhan Yesus untuk merasakan pengalaman ini.
Hingga tiba di rumah Tante Hana sekitar pukul 6 sore itu, saya tetap merasakan sebagai kakak bagi mereka semua. Tuhan Yesus seperti berbisik pada sanubari hati saya untuk selalu ada bagi mereka, untuk mau mendengarkan cerita mereka, dan mendoakan mereka walaupun saya harus berada di luar kota nanti. Adik-adik luar biasa yang Tuhan Yesus berikan kepada saya untuk saya jaga selama tiga hari, kini telah menjelma menjadi adik-adik baru yang akan saya jaga selamanya.
Jadi, selama tiga hari itu, saya memperoleh adik-adik yang baru. Alias saya menjadi kakak. Adik-adik yang luar biasa. Saya sayang kepada mereka. Sebelas orang jumlahnya. Banyak bukan? Ya, mereka adalah Michael, Valentino, Farel, Sandra, Angel, Iva, Grace, Erika, Ivana, Febri, dan Tasya. Saya bersyukur telah dimampukan Tuhan menjadi kakak terbaik dan terlucu dalam kehidupan mereka, meskipun hanya punya waktu tiga hari.