Pelajaran dari Angkutan Massal: Kepedulian
Saya cukup tergugah saat membaca berita yang di-share-kan oleh seorang adik kelas di media sosial. Berita mengenai penumpang KA Commuter Jabodetabek (istilah dari Kereta Rel Listrik/ KRL) yang kini sudah berganti nama. Sebagai informasi, KRL ini beroperasi dari pusat kota Jakarta hingga ke kota-kota penyangganya, seperti Bekasi, Tangerang, Depok, dan Bogor. Disebutkan commuter, karena kereta ini mengangkut penumpang harian yang berpindah dari kota-kota penyangga menuju Jakarta. Di jam-jam tertentu, seperti pagi hari dan sore-malam hari, penumpang KRL membludak. Penuh. Berdesakan layaknya pepes ikan di dalam gerbong. Belum lagi yang menunggu di stasiun-stasiun strategis, seperti Stasiun Sudirman (pusat perkantoran di Jakarta) dan Stasiun Manggarai (pusat transit KRL).
Kemarin, berdasarkan kompas.com, terjadi gangguan kereta rel listrik (KRL) di Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan, pada Senin (15/6/2015) dini hari. Penumpang yang yang naik KRL jurusan Jatinegara-Tanah Abang-Bogor ini harus mengakhiri perjalanan di Stasiun Manggarai, tidak sampai ke Bogor. Niat ingin meneruskan perjalanan dengan kereta yang menuju ke gerbong ternyata tidak kesampaian. Gerbong yang mereka tumpangi ditinggal oleh rangkaian kereta terakhir yang berangkat ke arah Bogor dari arah Jakarta Kota. Begitu sampai di Stasiun Manggarai, petugas memberi tahu bahwa sudah tidak ada lagi kereta ke Bogor. Penumpang mulai panik, terancam tak bisa pulang. Perlu diketahui, jarak antara Manggarai dengan Bogor hamper 20 kilometer, dan untuk kondisi dini hari, hamper dipastikan sudah tidak ada lagi angkutan umum atau bus yang beroperasi.
Setelah berembuk dengan para penumpang, akhirnya Wakil Kepala Stasiun Manggarai berjanji akan memberangkatkan satu rangkaian kereta luar biasa ke arah Bogor. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 01.50 WIB. Hampir dua jam penumpang menunggu kejelasan di Stasiun Manggarai. Namun, kereta luar biasa itu hanya sampai ke Stasiun Cilebut, dan tidak sampai ke Bogor. Ini menjadi masalah baru bagi nenek Ani yang tidak lagi memiliki uang. Ia bingung karena jarak dari stasiun Cilebut menuju rumahnya cukup jauh dan harus ditempuh dengan ojek. Ajaib, tidak lama kemudian, para penumpang yang tersisa sama-sama mengumpulkan uang (patungan) untuk nenek Ani melanjutkan perjalanan.
Kepedulian: Sebuah Pelajaran Penting
Membaca berita ini mengajak saya untuk berefleksi sejenak selama istirahat di kantor hari ini. Sebagai seorang penumpang Commuter setiap hari kerja, saya harus mengatakan, bahwa angkutan massal memang memberikan sebuah pelajaran penting bagi kita (para penumpangnya). Pelajaran penting itu bernama kepedulian. Sikap menghargai dan menghormati orang lain. Kepedulian itu muncul dari rasa senasib dan seperjuangan. Sama-sama berada di posisi sebagai penumpang angkutan massal. Sama-sama sudah capai beraktivitas seharian dan sama-sama ingin pulang ke rumah.
Dalam dunia yang serba modern dan serba instan seperti Jakarta, orang-orang semakin tidak peduli. Semakin individualis dan egois. Buat apa mikirin orang lain? Lha wong saya aja sudah ribet… Lihat juga di jalan raya, bagaimana motor dengan seenaknya naik ke trotoar untuk menghindari kemacetan. Mereka yang menyerobot sana-sini demi mencari jalan tercepat untuk tiba di tujuan. Lihat juga bagaimana angkutan-angkutan umum yang tidak lagi peduli bahwa dengan berhenti sembarangan mereka membuat kemacetan semakin parah. Tentu juga kita tidak asing lagi mendengar umpatan, cacian, ucapan kasar atau keributan di jalanan karena mobil atau motornya bersenggolan dengan yang lain. Naik angkutan pribadi nyatanya mempertajam friksi antara pengguna jalan: orang semakin tidak peduli satu sama lain.
Sudah saatnya memang pemerintah atau pihak-pihak terkait seperti Dirjen Perhubungan Darat Kementrian Perhubungan berfokus pada angkutan massal. Sambil menunggu proses pembangunan MRT dan juga LRT yang masih akan lama terwujud, atau kepada Busway yang tersangkut masalah korupsi, coba berfokus pada KRL ini. Percepat pembangunan rel ganda sampai Cikarang dan Bandara. Niscaya, kepadatan di Tol Dalam Kota maupun Cikampek akan berkurang drastis. Bekerja sama dengan Kementrian PU, bangun flyover di persimpangan-persimpangan rel-jalan yang padat. Juga pada pengadaan gerbong-gerbong baru.
Beruntung, angkutan massal semisal KRL ini masih ada dan menjadi tumpuan bagi para penumpangnya. Tidak hanya soal biaya perjalanan, melainkan juga waktu. Saya merasakan hal tersebut. Perjalanan dari Kranji menuju Sudirman “hanya” berongkos 2 ribu rupiah dan “hanya” membutuhkan waktu 40 menit. Jika dibandingkan dengan angkutan lain maupun kendaraan pribadi, rasanya tidak ada yang dapat menggantikan KRL. Ya paling hanya masalah berdesakan dan belum daerah-daerah yang jauh dari stasiun.
Terlepas dari semua kelebihan dan kekurangan KRL, angkutan massal ini menjadi kesempatan bagi saya untuk mengasah kepedulian saya. Untuk memberikan jalan kepada orang lain yang akan turun. Untuk menggeser dan merapatkan posisi berdiri agar penumpang dapat terangkut. Bahkan, untuk berusaha menahan “ayunan badan” di samping kiri-kanan ketika kereta berhenti atau mulai berjalan.