Perjalanan Menuju Manila
Jarak Jakarta dengan Manila sekitar 2000 kilometer atau kira-kira jarak dari Jakarta ke Sorong, Papua. Papa dan Mama mengantarkan saya menuju ke Soekarno Hatta menjelang tengah malam. Hanya ada sedikit penumpang dalam penerbangan menuju ke Manila malam itu. Penerbangan ke Manila adalah penerbangan terakhir di Bandara Soekarno Hatta. Jadi, memang tinggal sedikit orang atau petugas yang berada di Bandara. Paling hanya tinggal beberapa orang security dan petugas di gate tempat kami menunggu pesawat. Saya sekilas menghitung mungkin tidak lebih dari empat puluh penumpang. Bahkan, setelah kami di dalam kabin pesawat, para pramugari menawarkan sejumlah penumpang untuk berpindah tempat duduk. Ya, jadi satu slot baris hanya diisi oleh satu orang. Kebetulan memang saya mendapat posisi di dekat jendela, dan tidak ada orang lain di dalam baris saya. Sekilas saya melihat suasana di luar. Hitam pekat. Sunyi. Padahal beberapa hari yang lalu saya masih bersenda gurau dan berkumpul bersama dengan saudara-saudara Papa dan Mama di momen tahun baru. Ya kini saya sendirian. Perasaan saya juga jadi cemas, di satu sisi tidak sabar menunggu pengalaman dan tempat yang baru, namun di sisi lain, takut apakah saya dapat beradaptasi dan hidup di sana. Pikiran saya berkecamuk malam itu menunggu pesawat mulai bergerak ke ujung landasan.
Saya kemudian berdoa dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan Yesus. Setelah berdoa, saya pun mengantuk dan mulai tertidur. Berbeda dengan Garuda Indonesia, sepanjang perjalanan saya tidak dapat menonton film atau mendengarkan musik. Padahal biaya tiketnya hampir setara tiket Garuda Indonesia kemarin saat Papa Mama dan saya ke Jepang.
Sekitar jam setengah tiga, saya terbangun dengan bunyi deret meja pramugari yang membawakan makanan juga minuman. Menu makan malam itu adalah pilih adalah ikan/ daging panggang, nasi, salad, kue, dan roti. Pramugarinya sempat berkata bahwa roti ini adalah roti khas Filipina. Jadi saya mencicipinya bersama dengan segelas coklat susu hangat. Udara di luar amat dingin. Ada kepingan-kepingan es terbentuk di jendela. Mungkin karena kami terbang tinggi dan juga malam hari pikir saya, sambil menyeruput coklat susu yang hangat itu.
Selesai makan sekitar pukul tiga, saya kemudian menuliskan sertifikat kesehatan, bea cukai, dan imigrasi yang diserahkan oleh pramugari. Untung saja saya ingat membawa pulpen di jaket saya, jadi tidak ribet untuk meminjam atau mengambil tas di yang diletakan di atas kabin. Setelah itu saya tertidur kembali. Saya terbangun sekitar pukul lima pagi karena pesawat mengalami sedikit guncangan. Pilot sudah menurunkan ketinggian pesawat tanda kami akan segera mendarat. Di ujung pandangan, terlihat matahari sudah mulai menampakkan sinarnya.
Akhirnya sekitar pukul 6 pagi kami mendarat. Penerbangan saya berlangsung selama 5 jam 5 menit hingga mendarat di Nino Aquino International Airport (NAIA) di daerah Makati, Metro Manila. Dahulu bandara ini bernama Manila International Airport, namun untuk menghormati Benigno Aquino yang dibunuh di bandara itu tahun 1983. Setelah mengambil bagasi saya pun keluar dan hendak mencari tempat untuk membeli sim card untuk menelepon penjemput saya. Nama dan nomor kontaknya sudah saya screenshot dari email HR perusahaan di Filipina.
Sempat berkeliling saya tidak menemukan sama sekali warung atau tempat menjual sim card. Hanya ada penukaran uang asing ke mata uang peso. Saya pun bertanya kepada meja informasi untuk menanyakan lokasi terdekat membeli sim card. Kemudian tiba-tiba dia berkata, “No, no! Don’t buy it here. Too expensive. Just buy it in the city.” Wah, saya pun jadi panik, bagaimana dong caranya untuk mencari penjemput saya. Mungkin kasihan melihat muka saya yang menjadi takut dan bingung, kemudian dia memanggil saya. Dia menawarkan untuk menggunakan handphonenya untuk menelepon penjemput saya. Saya berikan nomor yang saya peroleh, kemudian dalam bahasa Filipino (Tagalog) petugas informasi ini berbicara kepada Carlo Destreza (orang yang akan menjemput saya). Kemudian dia menyuruh saya untuk menunggu di Bay-9 (tempat pick-up penumpang). Saya mengucapkan terima kasih kepada petugas informasi yang mau meminjamkan handphone sekaligus pulsanya.
Meja informasi tadi di dekat Bay-11, saya pun berjalan menuju ke sisi kiri tempat Bay-9. Sempat menunggu sebentar kemudian ada seseorang yang keluar dari mobil dan berkata, “Mr. Daniel? From Indonesia?” “Yes, I am Daniel.” “Ok then, Mrs. Dyan already on the way to Tribeca. We will meet her there.” Artinya, Mrs. Dyan (HR perusahaan di Filipina) sudah dalam perjalanan menuju Tribeca dan kita akan bertemu dengannya di sana. Kemudian saya sempat menyalamnya lalu ia langsung memasukkan koper saya ke bagasi belakang. “Puji Tuhan, semuanya lancar,” ujar saya di dalam hati. Kami pun langsung bergegas menuju ke Tribeca Residences tempat saya akan tinggal selama di Filipina.
Salah satu fase tersulit sudah saya lalui, jadi petualangan saya sudah dimulai sekarang.