Sepeda Adalah Teman
Sepeda sepertinya sangat dekat dengan kehidupan saya dan keluarga. Sejak kecil saya dan abang sudah belajar dan “berteman” dengan sepeda. Bisa dikatakan sepeda adalah teman. Mengapa saya bilang begitu? Saya akan menceritakannya kepada teman-teman semua.
800 meter, jarak dari depan komplek Duta Kranji sampai di rumah. Tidak terhitung berapa kali saya berjalan kaki dari rumah ke depan komplek dan sebaliknya. Dulu saat tidak ada sepeda, sepeda motor, atau mobil, setiap ada kebutuhan yang perlu, saya atau abang harus berjalan kaki ke depan komplek untuk membeli di supermarket. Begitu juga saat ingin memfotokopi surat-surat, memotong rambut, dan yang lainnya. Sebetulnya ada abang becak yang bisa mengantarkan sampai depan rumah–tanpa perlu keluar keringat– namun kami sering mengurungkannya demi menghemat uang.
Sepeda adalah Teman
Saat SMP, kami pun tetap berjalan kaki. Namun kali ini polanya berbeda sebab ada sebuah sepeda kecil di rumah. Sepeda dari Bang Niko. Meskipun begitu sepedanya kecil, dan hanya bisa dinaiki oleh satu orang. Jadi misalnya abang mau pergi ke tempat les, saya harus berjalan kaki duluan sampai ke depan komplek. Di sana saya menunggu abang yang naik sepeda. Saat abang turun dari sepeda dan pergi les naik angkot, gantian saya yang naik dan membawa sepeda itu pulang ke rumah. Begitulah kenangan kami dengan sepeda itu. Berat dan tidak praktis memang, tapi kami bisa menghemat waktu dan tenaga apabila ada keperluan-keperluan mendesak.
Sepeda itu juga yang dipakai untuk menembus jalanan yang ramai. Pernah satu pagi, mama kekurangan santan kelapa untuk memasak rendang. Karena abang tahu tempat jual kelapa di pasar Kranji, abang menggenjot sepedanya sampai ke pasar. 1.8 kilometer ditempuh abang dengan sepeda kecil itu.
Pernah juga satu malam, saat pegangan panci patah sehingga air panas tumpah ke kaki mama. Karena waktu itu habis, maka abang harus membeli obat kena panas di apotik. Apotik yang terdekat saat itu adalah apotik Hadifarma yang ada di sekitar Pondok Cipta. Abang sekali lagi mengayuh sepeda kecilnya dan membeli obat itu. Total ada sekitar 2 kilometer yang ditempuh oleh abang. Pulang pergi 4 kilometer, jarak yang jauh sekali menurut saya.
Sepeda juga yang menemani saya, abang, dan Dhika yang sering jalan-jalan ke belakang komplek perumahan. Dulu, di sana sawah terhampar luas sekali. Di seberang sawah sana ada rel kereta api, rel kereta api antara stasiun Pondok Kopi dan Stasiun Kranji. Kami ingin sekali sampai ke tempat rel itu ada. Dengan sepeda kecil, kami menyusuri jalan-jalan setapak di pinggir sawah menuju ke sana. Walau jalanannya kecil dan berlumpur, tapi kami tetap bersemangat.
Pada akhirnya kami memang harus bekerja keras membersihkan sepeda dari lumpur yang menempel, tapi kami bahagia karena bisa sampai ke tempat rel itu dan melihat kereta api yang melintas. Saya masih ingat betul karena begitu banyaknya lumpur di sepeda itu, kami sampai harus mengguyurnya dengan air kali berulang-ulang. Petualangan yang mengasyikkan bersama sepeda.
Semenjak SMA karena sudah ada sepeda motor, kami sudah tidak menggunakan sepeda itu lagi. Mungkin mama sudah menjualnya atau memberikannya kepada orang lain, saya tidak tahu. Tapi yang saya tahu, sepeda itu sudah menemani saya dan abang sepanjang beberapa tahun hidup kami. Sepedanya boleh kecil, tapi tidak pernah membatasi kami untuk pergi jauh, pergi ke daerah baru. Pergi jauh menemukan hal-hal baru. Ya, sepeda adalah teman kami.
sumber gambar sepeda: blogspot