Sepiring Nasi Goreng Kenangan
Nasi goreng adalah makanan favorit adik dan saya sejak kecil. Nasi goreng amat ditunggu-tunggu kami berdua untuk sarapan sewaktu masih sekolah dulu, atau setidaknya untuk dibawa sebagai bekal. Rasanya yang renyah dan sedap serta perpaduan dengan cara masak papa dan mama itulah yang membuat kami begitu memfavoritkan makanan ini ketimbang makanan-makanan lainnya. Seingat saya, hanya nasi goreng yang mampu membuat kami berdua “makan agak banyak”–di mana waktu itu kami susah makan. Jadilah papa dan mama sering membuatkan nasi goreng sebagai sarapan, apalagi di hari-hari libur agar kami dapat makan “banyak”. Masih ingat perkataan mama, “Ayo makan nasi gorengnya yang banyak supaya bisa gemuk.”
Sepiring Nasi Goreng Kenangan
Saya juga mengingat persis, nasi goreng adalah menu bekal favorit kami. Sewaktu masih SMP di Kanisius dahulu, kami membawa satu bekal untuk berdua. Adik pernah hampir menghabiskan bekal nasi goreng dan melupakan saya yang baru makan sedikit. Adik minta maaf karena enak nasi goreng katanya. Hari itu akhirnya saya membeli beberapa jajanan sebagai ganti bekal, karena perut yang masih terasa lapar. Beberapa kesempatan berikutnya, mama selalu menambahkan porsi bekal kami, jika bekalnya adalah nasi goreng. Kata mama, supaya kami berdua bisa puas makan dan tidak berebut. Ada juga kisah saat mama memasukkan terlalu banyak kecap saat memasak nasi goreng di pagi itu. Akibatnya, nasi goreng yang kami santap berwarna coklat tua dan terlalu manis. Meskipun begitu, kami tetap senang menyantapnya.
Saya juga masih ingat persis kapan kami mulai bisa memasak nasi goreng. Nasi goreng adalah makanan yang menyatukan kami berdua setelah telur dadar. Ya benar, hari itu hari sabtu. Papa dan Mama sedang pergi dan kami berdua tinggal di rumah. Adik bisa memecahkan telur. Sedang saya bisa menyalakan kompor gas. Kami berdua akhirnya bisa memasak telur pertama kali sore itu, meskipun kami lupa memasukkan garam ke dalamnya. Ya, telur dadar itu adalah langkah awal kami belajar memasak beragam masakan, termasuk juga nasi goreng. Masakan nasi goreng yang kami buat terus mengalami perubahan, dulu yang masih sering keasinan dan kurang diaduk, atau kurang kecap, kini telah menjadi nasi goreng yang nikmat dengan waktu pengolahan yang sebentar. Nasi goreng dengan bumbu alami: bawang merah dan bawang putih tanpa tambahan bumbu kemasan atau apapun adalah nasi goreng yang paling kami sukai.
Ya, sepiring nasi goreng kenangan adalah judul tulisan saya kali ini. Memang benar, hingga kini, menu nasi goreng adalah menu yang paling sering saya makan selama berkuliah di Bandung. Ada nasi goreng telur, nasi goreng seafood, hingga nasi goreng ikan asin yang menjadi menu favorit saya. Setiap kali saya menikmati nasi goreng, saya selalu teringat dengan keadaan dapur rumah saat kami memasak. Dulu kami menyiapkan margarin, kecap, garam, telur, dan nasi di dekat kompor. Karena posisi kompor yang agak tinggi, kami harus naik ke atas kursi makan agar bisa memasak dan mengaduk nasi goreng. Semua kami lakukan bekerja sama. Saya mengaduk, adik memasukkan garam. Giliran adik mengaduk, saya memasukkan kecap. Kerjasama inilah yang menghasilkan paduan rasa yang pas dan membuat nasi goreng yang begitu sedap. Nasi goreng yang kini begitu membekas dalam kehidupan saya.
Ketika sudah berkuliah, saya beruntung tetap dapat memasak nasi goreng karena tersedia dapur di indekos. Kini, saya memasaknya sendiri karena kami tidak lagi bersama. Namun, saya bersyukur kepada Tuhan Yesus, Ia memberikan kesempatan bagi kami untuk dapat menikmati nasi goreng. Ketika adik pulang dari Jepang dan saya dari Bandung, kami makan nasi goreng itu sebagai sarapan. Rasanya pun tidak berubah, masih sama seperti nasi goreng yang mama papa masak dahulu saat kami masih kecil. Rasanya tidak berubah, masih sama seperti dahulu, sepiring nasi goreng kenangan.
Sumber Gambar : mobypicture.com