Untukmu, Sahabatku#4, Keluarga Hanna Tanuwidjaja
Bersama dengan keluarga Tante Hanna dan staff Youth of Christ (Facebook) |
Jarang sekali saya menemukan pasangan suami istri yang namanya begitu mirip, Hany dan Hana. Ya, sangat mirip, hanya berbeda bunyi di vokal terakhir. Keluarga ini saya kenal dari sejak kecil, entah umur berapa. Tapi, saya merasa amat dekat dengan mereka. Banyak tindakan mereka yang membuat saya terkesan, masih ada orang yang mau berkorban.
Sebelumnya saya mau menceritakan tentang keluarga ini. Ada Om Hany Tanuwidjaja, sebagai suami. Om Hany sudah tua, sudah pensiun. Tapi masih tetap bekerja karena masih dibutuhkan oleh perusahaan. Tante Hana belum pensiun, masih bekerja. Kadang Tante Hana pulang agak malam. Keluarga ini tergolong keluarga kecil, karena mereka tidak beruntung memperoleh keturunan. Tapi saya yakin mereka tetap gembira dan senang. Kenapa? Karena ada Sekolah Minggu yang tidak pernah absen digelar. Tiap minggu banyak orangtua yang mengantarkan anaknya ke rumah Tante Hana, tempat digelarnya sekolah minggu. Hampir tiap bagian rumah dijadikan ruang kelas saat ada pemisahan kelas berdasarkan umur pada Firman Tuhan. Ada banyak anak-anak berlarian kesana kemari di ruang tamu rumah yang dijadikan tempat sekolah minggu. Dari cerita Tante Hana, Sekolah Minggu dimulai pada tahun 2000, tepatnya saat ulang tahun Dhika, 20 Februari. Pada awal saya dan abang ikut sekolah minggu, itu pada tahun 2002, ruangannya kecil dan hanya ada sedikit anak. Pertemuan pertama dengan keluarga ini tidak bisa saya lupakan. Pertama kali saya dan abang datang ke sekolah minggu, kami dibeli kertas kecil yang ada gambar Tuhan Yesus nya. Kami juga mendapat coklat batang yang enak serta hadiah buku cerita Kristen bergambar.
Waktu berlalu, karena makin banyak anak yang datang ke sekolah minggu, ruang ibadah makin penuh sesak. Akhirnya Tante Hana memutuskan untuk menggabungkan dua ruangan dan dijadikan ruang ibadah. Ruangannya kini sudah agak lega. Di pojokan, kami bisa meletakkan gitar dan keyboard. Ada juga sofa untuk orangtua yang menunggui anaknya. Tante Hana merelakan rumahnya ditempeli hiasan dan spanduk yang agak besar. Memang terlihat agak mengganggu, tapi jadi lebih semarak.
Itu sekedar gambaran keadaan ruang ibadah sekolah minggu.
Tidak hanya itu saja, keluarga Tante Hana juga membagikan kue kecil dan teh setiap minggu pada anak-anak. Belakangan ini saya tahu, kalau dulu Tante Hana malah memberikan susu atau coklat hangat. Ditambah lagi dengan dipasangnya pendingin udara di setiap ruangan. Udara menjadi lebih sejuk, walaupun harus menambah biaya instalasi. Tapi sampai kini keluarga ini tidak pernah mengeluh.
Satu hal lagi, keluarga ini juga sering menampung anak dari keluarga lain. Yang saya tahu mereka diijinkan tinggal di rumah dan disekolahkan oleh Tante Hana. Orang terakhir adalah Kak Fitri, yang kini melayani. Tapi sebelumnya juga ada banyak. Ada Kak Mince dari NTT, ada Kak Slamet dari Kalimantan, ada juga Om Habakuk. Mereka semua sudah tidak lagi melayani sekolah minggu, karena sudah berkeluarga. Tapi mereka masih tetap melayani di daerah lain. Ada yang jadi pendeta, ada juga yang jadi guru dan kepala sekolah. Hebat bukan?
Kabar terakhir, yang saya tahu mereka berencana memindahkan lagi dapur ke bagian depan rumah. Tepatnya ke ruang baru yang dibangun di atas bekas kolam ikan. Semuanya karena jumlah anak yang masih terus bertambah. Kalau saya duduk di depan dan bermain gitar, saya melihat memang banyak sekali anak Sekolah Minggu. Tiap minggu mungkin jumlahnya berkisar 50 orang. Setelah dapur dipindahkan, maka ruang dapur yang lama akan digabung dengan ruang ibadah kini. Mungkin bertambah 9 meter persegi. Lumayan untuk mengurangi padatnya Sekolah Minggu.
Satu hal yang paling saya ingat dari Tante Hana: Sebelum akhirnya kami dan Tante Hana tidak bisa lagi sering bertemu karena harus kuliah di tempat lain, dia berkata, “Tante ingat, dulu saat kecil, Daniel Chris dan Mama bernyanyi-nyanyi di garasi depan rumah, dan sambil berdoa. Sampai sekarang Tante masih ingat itu.” Wah, saya sangat kaget mendengarnya. Saya sendiri tidak menyangka, kalau Tante Hana tahu. Tidak menyangka kalau sampai sekarang Tante Hana pun masih mengingatnya.
Saat pergi ke bandara Soekarno Hatta pun, Tante Hana dan Om Hani juga ikut mengantar dengan Mama dan Papa. Tante Hana memberi hadiah kaset lagu rohani dan 2 lembar foto mengenai Youth of Christ. Ya, itulah kali terakhir saya bertemu tatap muka dengan Tante Hana dan Om Hany. Puji Tuhan dengan kecanggihan teknologi, saya tetap bisa berkomunikasi dan melihat muka mereka melalui fasilitas Skype.
Saya tidak tahu lagi apa yang terjadi hari esok atau hari-hari mendatang. Bagaimana perkembangan sekolah minggu? Apa lagi yang mau dikorbankan keluarga ini?
Inilah cerita “Untukmu Sahabatku” bagian keempat, semuanya saya berikan kepada keluarga Tante Hana, keluarga yang rela berkorban untuk orang lain.
1 thoughts on “Untukmu, Sahabatku#4, Keluarga Hanna Tanuwidjaja”