Browse By

Belajar dari PLTN Fukushima Jepang

Pada saat terjadi gempa, sistem shutdown pada unit 1, 2 dan 3 bekerja dengan baik dan secara otomatis mematikan reaktor. Hal ini sesuai dengan prosedur. Sistem reaktor nuklir langsung dimatikan secara otomatis dan hal ini diakui oleh staf pekerja di PLTN Fukushima. Setelah reaktor dimatikan, sistem pendinginan normal masih bisa difungsikan selama beberapa saat. Uap yang terbentuk akibat kalor dalam bejana reaktor tidak dialirkan ke turbin, tetapi langsung ke kondenser untuk diembunkan. Air yang terbentuk dipompakan ke bejana reaktor. Proses pendinginan berubah dari proses pendinginan normal ke sistem pendinginan pasca shutdown (setelah pemadaman).

Perlu diketahui bahwa pada desain BWR-3, BWR-4 dan BWR-5, bejana reaktor berada di dalam pengungkung yang terbuat dari baja dengan dilindungi beton. Di bagian bawah dari bejana pengungkung (containment/ drywell) terdapat kolam supresi tekanan (containment suppresion chamber) yang adalah kondenser guna mencegah kalor berlebihan. Pada kolam ini, air pendingin harus dapat dialirkan melalui pipa-pipa kondenser di dalam kolam supresi.

Setelah reaktor mati dan pendinginan dengan jalur operasi normal tidak dapat difungsikan, maka digunakan jalur operasi pasca shutdown. Uap dari bejana reaktor dilepaskan ke pengungkung (dry well), selanjutnya masuk ke kolam supresi. Ketika menyentuh pipa-pipa kondenser kolam supresi, uap ini akan mengembun dan menjadi air. Air selanjutnya dipompakan kembali ke bejana reaktor.

Demikian seterusnya sehingga kalor dari teras reaktor dapat dibuang melalui kondenser pada kolam supresi untuk jangka waktu cukup lama kalor dalam bejana reaktor mengecil. Selama sistem pendinginan pasca shutdown ini berjalan normal, maka tidak akan terjadi overheating dan susunan bahan bakar tidak mengalami kerusakan.

Kalau Ada Baterai dan Diesel Mengapa Terjadi Kecelakaan?

Akan tetapi sistem pendingin pasca shutdown ini perlu suplai daya listrik guna menggerakkan pompa sirkulasi pendingin dan pompa pendinginan kondenser kolam supresi. Akan tetapi karena turbin tidak bekerja, maka suplai daya listrik ini tidak dapat diambil dari generator PLTN seperti biasanya.

Menurut standar sistem keamanan PLTN Fukushima Jepang, bila PLTN berhenti sistem pendinginan akan menggunakan sumber listrik dari luar yang dikirimkan lewat tiang listrik. Kalau pun ada kecelakaan besar hingga tiang listrik terputus, maka disiapkan pula mesin diesel pembangkit listrik darurat. Dan kalau mesin diesel sudah habis dan tidak bisa dipakai lagi, masih ada baterai cadangan yang disimpan di ruang bawah tanah bangunan PLTN Fukushima Jepang.

Namun yang terjadi di PLTN Fukushima Jepang lebih buruk daripada standar sistem keamana yang ditetapkan. Gempa 9.0 SR pertama datang dan merobohkan tiang listrik, memutus sumber listrik dari luar. Selain itu, tsunami setinggi 14 meter yang datang langsung merendam ruang bawah tanah PLTN Fukushima Jepang sehingga membuat mesin diesel tidak bisa dipergunakan. Hanya beberapa baterai yang masih bisa dipergunakan.

Menurut desain dan cara kerja PLTN, saat listrik padam karena gempa, pasokan listrik otomatis mengalir dari baterai cadangan. PLTN Fukushima pun begitu. Para petugas pun masih bisa mengontrol PLTN Fukushima dari ruang kontrol tengah (Chuo Seigyo Shitsu) dan mengecek sistem pendingingan. Seiring berjalannya waktu, pasokan listrik dari baterai pun mulai berkurang sehingga salah seorang petugas diperintahkan untuk mengoperasikan pembangkit listrik diesel.

Namun yang terjadi adalah petugas itu kembali ke ruang kontrol dengan baju kumel penuh lumpur. Sambil berteriak, “Yabai, yabai” (gawat dalam bahasa Indonesia), dia menceritakan bahwa mesin diesel di lantai basement sama sekali tidak bisa dipergunakan karena terendam tsunami 13 meter yang masuk sampai ke bangunan PLTN Fukushima. Alhasil tidak ada sumber listrik ke PLTN Fukushima selain dari baterai cadangan.

Guna memperpanjang daya baterai cadangan sambil menunggu bantuan generator diesel portabel dari pusat kontrol (terletak di gedung seberang ruang kontrol PLTN Unit reaktor 1), staf ahli di reaktor 1 memerintahkan untuk mematikan dan menghidupkan sistem pendingin pasca shutdown. Hanya kala tekanan uap di bejana reaktor (ini adalah indikasi tingginya kalor) meninggi saja, maka sistem pendingin diaktifkan. Kala sistem aktif, maka lampu hijau akan menyala, sebaliknya lampu merah menunjukkan sistem non-aktif. Cara ini dilakukan juga untuk melindungi sistem dari kerusakan akibat pendinginan yang cepat.

Lima puluh satu menit setelah gempa besar terjadi, akhirnya seluruh bangunan PLTN Fukushima (khususnya Reaktor nomor 1) pun padam. Petugas tidak dapat mengontrol lagi sistem PLTN Fukushima dan memantau keadaan bejana reaktor. Seluruh lampu indikator sistem reaktor PLTN Fukushima pun padam, tidak terkecuali lampu indikator sistem pendingin darurat.

PLTN Fukushima Reaktor 1 diluar kendali. Bagaimana kecelakaan PLTN Fukushima Jepang terjadi? Simak pembahasannya di artikel selanjutnya.

PLTN Fukushima Jepang dari atas

PLTN Fukushima Jepang dari atas (sumber : nukesofhazardblog.com)

Recommended for you

Baca Halaman Selanjutnya — 1 2 3

1 thoughts on “Belajar dari PLTN Fukushima Jepang”

Leave a Reply

You have to agree to the comment policy.