Efek Fotolistrik dan Efek Compton
Belajar Perbedaan Efek Fotolistrik dan Efek Compton
Kita sudah mengetahui bahwa warna biru memiliki frekuensi cahaya tertinggi, sedangkan warna merah yang terendah. Nah kalau begitu agar ruangan lebih terang (energinya lebih besar), bungkus saja lampu dengan kertas plastik warna biru, bukan? Sudah jelas ide itu salah. Nah, bicara mengenai energi, kita harus membedakan antara kualitas dan kuantitas.
Hanya dengan bermain ski seharian saja, kulit menjadi hitam legam. Tapi meskipun 10 hari berjemur di terik matahari, orang Eropa tetap saja putih. Sepuluh hari dan satu hari jelas-jelas berbeda, banyaknya energi matahari yang diserap tubuh pun jauh berbeda, tapi kenapa hasilnya terbalik?
Contoh yang paling jelas adalah warna kulit langsung berubah walaupun hanya 20 menit berjemur di pantai tropis. Tapi duduk berjam-jam di depan perapian pun, warna kulit sama sekali tidak berubah. Menurut fisika klasik, itu karena frekuensi gelombang energi dari perapian jauh dari batas frekuensi yang bisa menyebabkan reaksi kimia di kulit. Reaksi kimia di kulit tidak semata-mata ditentukan oleh kuantitas, atau berapa lama kulit terpapar energi.
Kulit menerima sejumlah hf dari perapian, tapi karena f kecil, tidak menyebabkan perubahan kimia pada kulit. Kesimpulannya energi dari perapian ada banyak tapi kualitasnya rendah. Nah, saat berjemur di pantai, kulit hanya sedikit menerima paparan matahari, tapi frekuensi energi matahari sudah cukup membuat kulit terbakar. Sebagai kesimpulan, energi matahari biarpun sedikit tapi kualitasnya tinggi.
Seperti contoh di atas, harus ada pemisahan antara kuantitas/ jumlah dan kualitas energi. Fisika klasik menganggap keduanya sama dan tidak memberikan perbedaan khusus. Nah, teori kuantum muncul dan memberikan perbedaan itu. Dan hasilnya, banyak fenomena alam lainnya yang bisa dijelaskan dengan teori kuantum.
Efek Fotolistrik dan Efek Compton
Planck menjelaskan adanya tingkatan energi hanya dengan persamaan matematika. Tapi apakah persamaan matematika itu benar-benar mewakili apa yang sebenarnya terjadi? Nah, penelitian “Efek Fotolistrik” lah yang akhirnya memastikan bahwa persamaan matematika Max Planck itu benar. Hallwacks menemukan efek fotolistrik ketika dia menembakkan cahaya ke logam. Tapi, Lenand lah yang melakukan penelitian secara presisi di tahun 1902. Lenand menembakkan cahaya berfrekuensi sama ke logam dan menemukan bahwa elektron-elektron tereksitasi. Dia juga menemukan fakta bahwa seiring dengan meningkatnya frekuensi cahaya, maka elektron yang tereksitasi pun bertambah. Fenomena ini disebut efek fotolistrik.
Inti efek fotolistrik: banyaknya elektron yang tereksitasi tidak tergantung lamanya cahaya ditembakkan (kuantitas), tapi bergantung pada frekuensi cahaya (kualitas).
Dahulu cahaya dianggap sebagai gelombang. Nah, apabila kepada atom yang radiusnya kurang dari 10 pangkat minus 10 meter ditembakkan sebuah cahaya, maka sesuai dengan sifat gelombang cahaya, cahaya akan menyebar kemana-mana, sehingga energi satuannya kecil sekali. Energi itu tidak mungkin cukup untuk membuat elektron tereksitasi dari orbitnya. Lalu bagaimana bisa elektron terlepas dari ikatan logam dan tereksitasi? Pertanyaan inilah yang tidak bisa dijelaskan fisika klasik.
Nah, fisika kuantum dapat menjelaskannya dengan baik. Fisika kuantum menganggap cahaya juga memiliki sifat partikel. Partikel cahaya (foton) akan bertabrakan dengan elektron dan memaksanya keluar dari ikatan logam dan akhirnya tereksitasi. Meskipun begitu, penjelasan itu hanya didasarkan pada hipotesis. Tidak ada seseorang yang bisa melihat sifat partikel cahaya.