ESS dan Pembangkit Listrik Tenaga Angin
Pembangkit listrik tenaga angin memiliki 3 karakteristik khusus yang menghambat penetrasinya ke dalam sistem listrik nasional. Tiga karakteristik itu ialah sebagai berikut. Pertama, fluktuasi energi dan frekuensi listrik yang dihasilkan. Ketika menghubungkan pembangkit listrik tenaga angin ke sistem kelistrikan, fluktuasi energi menjadi masalah utama baik dalam bidang teknikal dan ekonomi. Bidang teknikal maksudnya fluktuasi energi listrik membuat sistem kelistrikan menjadi rapuh. Tanpa adanya perhitungan energi listrik yang dihasilkan dan beban listrik yang akurat, pemadaman listrik bisa terjadi kalau angin tidak bertiup sama sekali. Sementara di bidang ekonomi, perhitungan tidak akurat menyebabkan pemadaman listrik atau kelebihan pasokan listrik, suatu hal yang amat merugikan bagi perusahaan. Untuk itulah, sistem penyimpanan energi (Energy Storage System=ESS) sangat diperlukan untuk menyatarakan selisih produksi dan beban listrik. Selain itu, adanya ESS juga menjadi cadangan dan jalan keluar problem pemadaman atau kelebihan energi listrik.
Kedua, besarnya fluktuasi energi listrik dari pembangkit listrik tenaga angin. Fluktuasi tidak hanya soal kuantitas produksi listrik, namun juga soal drastisnya perubahan energi listrik yang dihasilkan. Tiap jam bahkan tiap menit, fluktuasi produksi listrik amat besar dan juga berdampak pada fluktuasi beban listrik yang juga berubah-ubah tiap waktu.
Ketiga, produksi energi listrik dari pembangkit listrik tenaga angin yang tak terkontrol. Besarnya fluktuasi energi listrik juga dibarengi dengan produksi listrik yang tak terkontrol. Ketika angin laut bertiup kencang, maka deretan kincir angin juga akan berputar kencang. Kelebihan energi yang diproduksi dapat merusak sistem kelistrikan yang ada, antara lain kabel dan transformator yang sebelumnya hanya dirancang untuk batas energi tertentu. Adanya ESS dapat mencegah masalah ini. Saat ada selisih produksi energi listrik dengan beban listrik, maka energi itu dapat ditampung sejenak dalam ESS (IEEE TRANSACTIONS ON ENERGY CONVERSION, VOL. 24, NO. 3, SEPTEMBER 2009 725 “Control Strategies for Battery Energy Storage for Wind Farm Dispatching” Sercan Teleke, Mesut E. Baran, et al). Kalau ESS berpotensi tidak bisa menyimpan kelebihan energi, perlu ada pembatasan energi dari pembangkit listrik tenaga angin sendiri.
Perkembangan Teknologi ESS
Ketika melihat perkembangan teknologi pembangkit listrik tenaga angin, kita dapat melihat bahwa perkembangan sistem penyimpanan energi listrik (Energy Storage System=ESS) ialah yang paling menonjol. Berbicara tentang penyimpanan energi listrik, kita sesungguhnya tidak sedang berbicara tentang baterai saja. ESS sudah berkembang pesat hingga kita bisa menyimpan energi dalam bentruk elektromagnet, elektrokimia, energi kinetik, atau sebagai energi potensial (Sercan Teleke, ibid). Baterai sendiri sudah mulai ditinggalkan dan tidak banyak menjadi objek penelitian lagi karena dianggap tidak potensial. Selain karena harganya yang mahal, sistem kontrol dalam pengisian dan transfer energi juga sulit, dan efisiensinya tidak terlalu tinggi.
Perkembangan teknologi ESS pada umumnya terdapat di dua poros, kuantitas energi yang dapat diserap dan disimpan oleh ESS, dan kecepatan transfer energi dari ESS ke sistem kelistrikan (bandingkan dengan 3 karakteristik pembangkit listrik energi angin di atas).
Dengan flywheel energi listrik dapat disimpan secara kinetik. Energi listrik yang ada dipergunakan untuk memutar silinder dengan momen inersia besar dan diubah dalam bentuk energi kinetik. Lalu ada medium penyimpanan hidrogen. Produksi listrik digunakan untuk mengubah air menjadi gas oksigen dan hidrogen lewat proses hidrolisis. Nantinya, hidrogen dapat dibakar untuk menghasilkan energi listrik kembali. Ada juga Compressed-Air Energy Storage (CAES) dimana energi listrik digunakan untuk memompa udara bertekanan ke atas reservoir. Atau dengan kata lain mengubah energi listrik menjadi energi potensial. Prinsip yang sama juga diterapkan pada Pumped-Hydroelectric Storage (PHS) dimana air yang menjadi medium penyimpanan energi. Ada pula superkapasitor atau sering dikenal dengan EDLC (Electric Double Layer Capacitor) yang dapat menyimpan energi listrik besar dalam tempo mikrosekon. Penggunaan EDLC juga tahan lama dibanding dengan baterai yang cepat rusak dan mudah bocor. Medium Superconducting Magnetic Energy Storage (SMES) juga tengah dikembangkan sebagai medium penyimpanan energi listrik yang minim kebocoran energi. SMES adalah sebuah koil berbahan bahan superkonduktor yang dapat menyimpan energi listrik dalam bentuk energi elektromagnet tanpa kebocoran energi. Sayangnya koil mesti disimpan dalam penyimpanan sirogenik bersuhu -268 derajat celsius untuk menjaga kondisi bahan superkonduktor.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa variasi sistem penyimpanan energi cukup beragam. Namun, untuk membuat sebuah ESS sebagai cadangan sistem kelistrikan makro, diperlukan resource berupa lahan, biaya pembangunan, dan biaya maintenance yang tidak murah. Untuk itulah, daripada membangun ESS berskala besar yang dapat menyimpan energi listrik, lebih baik memikirkan teknologi dan strategi cara penyimpanan energi yang optimal. Strategi penyimpanan energi yang dapat mengatasi fluktuasi energi terbarukan, menjaga realibilitas sistem kelistrikan, plus sistem yang cepat transfer energinya (cepat menyerap-cepat menyalurkan), aman, serta tahan lama.
Referensi: Sercan Teleke, Mesut E. Baran, et al., 2009. Control Strategies for Battery Energy Storage for Wind Farm Dispatching. IEEE TRANSACTIONS ON ENERGY CONVERSION, VOL. 24, NO. 3, SEPTEMBER 2009 p. 725
Sumber gambar: http://www.researchperspectives.org