Mengenal Independent Power Producer (IPP)
Apa itu Independent Power Producer (IPP)? Istilah yang mungkin masih asing di telinga teman-teman. Namun, bagi kami para penggiat energi terbarukan, IPP kini sudah layaknya kacang goreng dan begitu mudah untuk ditemukan. Hampir semua PLTM (Pembangkit Listrik Mikro Hidro) atau PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) yang dibangun di daerah-daerah, semuanya dibangun oleh IPP. Secara definisi PLN, IPP (Independent Power Producer) adalah perusahaan produsen listrik swasta yang dibentuk oleh konsorsium untuk melakukan perjanjian PPA dengan PLN. PPA (Power Purchase Agreement) sendiri adalah perjanjian jual beli tenaga listrik antara perusahaan produsen listrik swasta (IPP) dan PLN. Nah, melalui tulisan ini, mari kita mengenal Independent Power Producer (IPP).
Mengenal Independent Power Producer (IPP)
Selama puluhan tahun, listrik dianggap sebagai sumber daya nasional sehingga pemerintah melalui PLN adalah pihak yang berhak mengupayakan dan mengambil keuntungan dari listrik. Swasta hanya diberikan peran sebagai penyedia pembangkit, lalu PLN menyewanya untuk memenuhi kebutuhan listrik. IPP sendiri sudah mulai dikenal sejak tahun 1990-an, PT. Paiton Energy melakukan PPA dengan PT. PLN (Persero) untuk pembangunan PLTU Paiton di Jawa Timur (sampai hari ini pembangkitnya masih beroperasi dan menjadi tulang punggung sistem tenaga listrik Jawa-Bali).
Akhirnya, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan memperbolehkan swasta untuk ikut serta dalam pemenuhan kebutuhan listrik nasional. Undang-Undang ini melengkapi dan memperkuat pegangan hukum bagi IPP untuk bisa mulai berinvestasi di bidang energi. Sebagai catatan, ada banyak rencana pembangunan pembangkit listrik oleh IPP yang mangkrak atau tidak jadi karena krisis ekonomi di tahun 1998. Salah satu sebabnya adalah, kenaikan nilai tukar Dollar terhadap Rupiah yang membuat harga listrik yang disetujui oleh PLN melalui PPA menjadi membengkak hampir 5 kali lipat. Sebagai pihak pembeli listrik tunggal, tentu PLN akan rugi besar jika tetap mengikuti PPA, yang artinya PPA harus dibatalkan atau minimal di negosiasi ulang harga jual beli listriknya.
Secara mudahnya, IPP akan membangun pembangkit, lalu energi listrik yang dihasilkan akan dijual kepada PLN sebagai konsumen listrik tunggal di Indonesia untuk kemudian disalurkan kepada penduduk dan industri. Namun, sampai hari ini, pihak swasta hanya mau berinvestasi membangun pembangkit listrik di wilayah-wilayah pusat beban, seperti Sumatera dan Jawa. Alasannya tentu karena secara bisnis, itu tidak menguntungkan. Namanya juga perusahaan apalagi swasta, tentu berharap bisa memperoleh keuntungan, bukan? Masak membangun pembangkit listrik dan mempersiapkan infrastrukturnya yang sangat mahal lantas tidak berharap balik modal dan mendapat untung?
Tidak heran, kini semakin banyak perusahaan-perusahaan swasta maupun investor asing yang terlibat dalam sektor pembangkitan listrik. Kalau ditanya untung apa tidak? Ya jelas untung dong. Dengan resiko yang hampir minimal (dengan perjanjian jual beli selama 20 tahun dengan PLN), maka dijamin setiap kWh energi listrik yang dibangkitkan akan menjadi rupiah yang bisa dibilang tidak sedikit.
Sebagai contoh, PLTM dengan kapasitas pembangkit 10 MW, lalu dengan Capacity Factor (CF)=67% (rata-rata PLTM di Indonesia), maka besarnya energi tahunan PLTM tersebut mencapai= 67% x 365 x 24 x 10 = 58,692 MWh. Dan jika BPP rata-rata per kWh di Indonesia untuk energi terbarukan sekitar Rp 1.050, maka IPP yang membangun PLTM akan memperoleh uang lebih dari 61 milyar setahunnya. Sebuah angka yang cukup fantastis bukan, apalagi untuk masa perjanjian jual-beli listrik selama 20 tahun.
Oke, kira-kira sudah dahulu tentang mengenal Independent Power Producer (IPP). Sebagai kesimpulan, mengapa tidak berinvestasi di bidang listrik saja?
Catatan:
- Capacity Factor atau CF adalah faktor pembagi nilai pembangkitan energi yang disebabkan oleh waktu maintenance (perbaikan baik mayor atau minor), debit air yang tidak mencukupi untuk memutar turbin air, atau faktor-faktor teknis dan non-teknis yang menyebabkan pembangkit tidak bisa beroperasi maksimal.
- Biaya 61 miliar setahun adalah pendapatan bersih, belum termasuk biaya maintenace dan biaya iuran air. Biasanya dalam pembangunan pembangkit listrik PLTM sampai maksimal 10 MW, IPP akan balik modal dalam 6-7 tahun saja.
Tentang Penulis
Penulis adalah lulusan Teknik Elektro dari ITB, dan kini aktif sebagai konsultan teknis elektrikal untuk pembangunan pembangkit listrik di Indonesia, khususnya di dalam bidang analisa kestabilan sistem dan studi kelayakan interkoneksi.
7 thoughts on “Mengenal Independent Power Producer (IPP)”