Wacana Energi Terbarukan
Dalam beberapa tahun ini kita melihat di beberapa negara, perkembangan energi terbarukan begitu pesat. Jumlah pembangkit listrik energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga angin, sel surya meningkat hampir 10 kali lipat dibanding tahun 2000-an. Beberapa ketentuan dan peraturan negara maju yang menganjurkan dan memberi insentif (misalnya FIT–Feed In Tariff) terhadap perusahaan yang mengembangkan energi terbarukan juga makin menambah pesatnya perkembangan energi terbarukan.
Energi Terbarukan di Mata Perusahaan
Namun perkembangan energi terbarukan sebetulnya bukanlah berita bagus bagi perusahaan-perusahaan operator listrik. Tugas utama perusahaan operator listrik adalah mengontrol dan menyesuaikan jumlah energi listrik yang dibangkitkan dengan jumlah beban listrik. Perusahaan biasanya sudah memiliki rumus dan hitungan sendiri mengenai keadaan cuaca, temperatur dan kelembaban udara dan berbagai macam kondisi alam lainnya dan hubungannya dengan beban penggunaan listrik. Ketika beban penggunaan listrik terprediksi seakurat mungkin, pengontrolan energi listrik yang dibangkitkan pun jadi mudah. Semakin sedikit selisih beban dengan energi listrik yang dibangkitkan, makin besar pula keuntungan perusahaan listrik. Sebaliknya, jika perkiraan beban listrik meleset maka perusahaan bisa merugi atau para pengguna listrik mengalami listrik padam.
Perkembangan energi terbarukan membuat masalah baru bagi perusahaan listrik. Pertama, perusahaan mesti melakukan penelitian dan pembuatan rumus baru antara kondisi alam dan jumlah beban listrik. Yang kedua, energi terbarukan sangat rentan terhadap perubahan alam. Perubahan alam yang diikuti perubahan kuantitas energi produksi yang terjadi pun sangat drastis dan dapat mengganggu sistem kelistrikan yang ada. Ketiga, karena rentannya energi terbarukan perusahaan listrik wajib menyediakan cadangan energi listrik. Cadangan energi listrik berarti membuat fasilitas baru, entah pembangkit listrik cadangan atau fasilitas penyimpanan energi (energy storage system=ESS).
Problem pertama sudah lama menjadi bahan penelitian dan rasanya rumus baru akan bahkan telah dipatenkan. Problem kedua juga menjadi target penelitian negara Eropa dan Amerika Utara (yang gencar membangun energi terbarukan) dan beberapa hasil penelitian sudah banyak yang dipatenkan dan memberikan tambahan efektivitas dan efisiensi pembangkit listrik energi terbarukan. Problem ketiga, menjadi masalah klasik yang sulit terpecahkan. Daripada membangun pembangkit listrik baru, yang justru menambah biaya maintenance, banyak perusahaan yang memilih opsi kedua yakni membangun ESS. ESS dan sistem kontrol energi dan penyimpanan energi dirasa sebagai opsi paling potensial dan ekonomis bagi perkembangan energi dunia.
Energi Terbarukan vs Energi Konvensional
Disisi lain, sumber listrik energi terbarukan juga sejujurnya tidak terlalu menggiurkan. Sel surya rata-rata hanya dapat mengkonversi sekitar 12% energi matahari menjadi energi listrik, itupun dengan biaya investasi mahal. Sama halnya dengan pembangkit listrik tenaga angin yang kepadatan energinya masih rendah. Hasil survei di Jerman (negara dengan pembangkit listrik tenaga angin terbesar di dunia) menyatakan pembangkit listrik tenaga angin rata-rata hanya menghasilkan 34 MW dibandingkan kapasitas total 100 MW. Sungguh perbandingan yang amat rendah dibandingkan dengan pembangkit listrik konvensional.
Dari sini kita bisa paham mengapa banyak negara yang sangat sulit untuk pindah ke energi terbarukan termasuk negara Indonesia. Daripada sibuk untuk melakukan penelitian mendalam soal teknologi energi terbarukan dan ESS, lebih baik fokus membangun sektor pemerintahan dan ekonomi yang lain. Buat apa menghabiskan banyak dana dan usaha untuk energi terbarukan yang rentan dan mahal?
Di bagian selanjutnya saya akan menjelaskan lebih detail mengenai teknologi baru khususnya tentang pembangkit listrik tenaga angin. Selain itu, sistem kontrol dan ESS yang terbaru juga akan dikupas di artikel selanjutnya. Selamat membaca dan mari sama-sama berpikir tentang potensi energi terbarukan di Indonesia.
Sumber gambar: http://modernfarmer.com